Dalam menghadapi perubahan-perubahan kehidupan dunia yang demikian pesat, tidak hanya kita yang perlu mempersiapkan bekal mental-spiritual, agar tidak tergelincir dalam dosa dan kebutaan hati, lebih-lebih lagi adalah generasi yang lebih muda, yang akan menghadapi perubahan-perubahan yang lebih cepat lagi. Pendidikan, pengajaran dan praktek agama yang mengisi rohani dapat kita rasakan pentingnya. Untuk itu ajaran-ajaran Islam telah mempersiapkan berbagai perangkat, di antaranya adalah pendidikan dan praktek agama sejak bayi dilahirkan.
1. Seorang calon ayah atau ibu amat was-was menunggu kelahiran bayinya. Pada sat-saat seperti itu mereka berdoa sebagaimana Nabi Zakaria (QS Ali Imran/3: 38): “Tuhanku, karuniakanlah kepadaku dari sisi-Mu keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengar permohonan.”
2. Dan saat tiba waktunya sang bayi lahir, terurailah senyum tawa, menyaksikan sang bayi yang lucu, yang baru lahir dan ibu bayi yang selamat. Tak lupa diucapkan “alhamdulillah” sebagai rasa syukur ke hadirat Allah.
3. Sejak saat itu pendidikan dan praktek agama bagi sang bayi dimulai. Dengan penuh sigap sang ayah membisikkan/mengumandangkan kalimat-kalimat tauhidlah yang pertama-tama ia dengar, sehingga pada akhir hayatnya kalimat-kalimat itu pulalah yang akan ia dengar dan ia ucapkan.
4. Pada hari ketujuh sebagai ungkapan rasa syukur dan sebagai bekal bagi sang bayi dilaksanakan upacara “’aqîqah”. Ia merupakan kesaksian dari anggota masyarakat atas kehadirannya dan penerimaan mereka. Ia merupakan isyarat dan harapan bahwa sang bayi nantinya siap untuk berkorban dan memberi manfaat bagi masyarakatnya. Upacara “’aqîqah” sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw yang artinya: “Setiap anak tergadai pada aqiqahnya, dilakukan dengan menyembelih (ternak) pada hari ke tujuh, diberikan namanya dan dipotong rambutnya.” Kata “’aqîqah” berarti memotong, karena pada saat itu dipotong ternak untuk jamuan dan dipotong rambut sang bayi. Hukum melaksanakan “’aqîqah” adalah sunnah muakkadah, atau sunnah yang kuat. Kata tergadai dalam hadits tadi diartikan oleh Imam Ahmad bin Hambal sebagai, “orangtua tidak mendapatkan syafaat dari anaknya sampai dilaksanakan “’aqîqah” untuknya”. Sehingga upacara “’aqîqah” menurut para ulama dapat dilaksanakan sampai anak menjadi besar atau baligh. Jumlah ternak yang dipotong, dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor untuk anak perempuan. Kambing yang sudah berumur setahun, yang sehat, yang tidak cacat, dengan harapan agar sang anak sehat dan tidak cacat, dan diniatkan dipotong untuk kurban sang bayi. Daging kambing disunnahkan untuk dimasak dengan dicampur bumbu yang manis, dengan harapan sang anak tumbuh dengan akhlaq yang elok. Lalu dihidangkan kepada para undangan. Hanya bagian kakinya, disunnahkan untuk diberikan pada sang bidan yang ikut melahirkan sang anak. Rambut sang bayi dipotong (tidak harus gundul) dan disunnahkan untuk memberikan sedekah seberat timbangan rambut tadi dengan emas atau perak. Sang bayi juga diberi makanan yang manis, kurma yang dihaluskan, dengan harapan akan menjadi anak yang manis dan generasi penerus yang melaksanakan kebajikan.
5. Sang bayi juga diberi nama yang baik. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Merupakan sebagian dari hak seorang anak atas orangtuanya adalah mendidiknya dengan baik dan memberikan nama yang baik.”
Perlu kami garis bawahi di sini tentang pemberian nama. Nama yang terbaik bagi seorang bayi laki-laki adalah Abdullah dan Abdurrahman. Setelah itu nama para rasul, nabi, malaikat, orang-orang yang salih dan yang memiliki arti yang baik. Semua itu dengan harapan bahwa sang bayi nantinya akan tumbuh dengan menjadikan namanya sebagai referensi. Kalau namanya Abdullah, maka ketika ia hendak berbuat tak baik, dan tak sengaja dipanggil, ia akan teringat peraturan-peraturan Allah, dan tak jadi berbuat aniaya. Dan begitulah seterusnya.
Pada masa ini, banyak orangtua yang melupakan kewajiban ini, yang merupakan hak dari sang anak. Diambilnya nama dengan tidak memakai referensi “shalih”. Bahkan sebagian memberi nama anaknya mengikuti kemarahan hatinya. Maka tidaklah juga dapat disalahkan sang anak ketika besar bukan referensi “shalih” yang digunakan. Karena sang anak tidak mendapatkan haknya, maka lupalah ia akan kewajibannya. Pada akhirnya orangtualah yang kewalahan.