Minggu, 31 Maret 2013

Untukmu,Duhai Pemuda Pemudi Islam...




Kami persembahkan nasehat ini untuk saudara-saudara kami terkhusus para pemuda dan remaja muslim. Mudah-mudahan nasehat ini dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka lebih tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apa kewajiban yang harus mereka tunaikan sebagai seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa muda ini tidak sepantasnya untuk diisi dengan perkara yang bisa melalaikan mereka dari mengingat Allah subhanahu wata’ala sebagai penciptanya, agar mereka tidak terus-menerus bergelimang ke dalam kehidupan dunia yang fana dan lupa akan negeri akhirat yang kekal abadi.
Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu wata’ala yang luasnya seluas langit dan bumi?
Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)
Untuk Apa Kita Hidup di Dunia?
Wahai para pemuda, ketahuilah, sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menciptakan kita bukan tanpa adanya tujuan. Bukan pula memberikan kita kesempatan untuk bersenang-senang saja, tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)
Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Itulah tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah.
Dalam beribadah, kita dituntut untuk ikhlas dalam menjalankannya. Yaitu dengan beribadah semata-mata hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Jangan beribadah karena terpaksa, atau karena gengsi terhadap orang-orang di sekitar kita. Apalagi beribadah dalam rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-orang yang alim, kita adalah orang-orang shalih atau bentuk pujian dan sanjungan yang lain.
Umurmu Tidak Akan Lama Lagi
Wahai para pemuda, jangan sekali-kali terlintas di benak kalian: beribadah nanti saja kalau sudah tua, atau mumpung masih muda, gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua merupakan rayuan setan yang mengajak kita untuk menjadi teman mereka di An Nar (neraka).
Tahukah kalian, kapan kalian akan dipanggil oleh Allah subhanahu wata’ala, berapa lama lagi kalian akan hidup di dunia ini? Jawabannya adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Wahai para pemuda, bertaqwalah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala. Mungkin hari ini kalian sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang tertawa, berpesta, dan hura-hura menyambut tahun baru dengan berbagai bentuk maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang menangis menyaksikan jasad-jasad kalian dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan menyesakkan.
Betapa celaka dan ruginya kita, apabila kita belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Wahai para pemuda, takutlah kalian kepada adzab Allah subhanahu wata’ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan amal yang pasti akan kalian hadapi nanti. Sudah cukupkah amal yang kalian lakukan selama ini untuk menambah berat timbangan amal kebaikan.
Betapa sengsaranya kita, ketika ternyata bobot timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan. Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ala:
فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُه
فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ
وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ
فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ
وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ
نَارٌ حَامِيَةٌ
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)
Bersegeralah dalam Beramal
Wahai para pemuda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya:
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lafazh hadits riwayat Abu Dawud no.733)
Bagi laki-laki, hendaknya dengan berjama’ah di masjid. Banyaklah berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat nanti.
Banyaklah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang telah kalian lakukan selama ini. Mudah-mudahan dengan bertaubat, Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memberi pahala yang dengannya kalian akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Wahai para pemuda, banyak-banyaklah beramal shalih, pasti Allah subhanahu wata’ala akan memberi kalian kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)
Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu?
Pertanyaan inilah yang akan diajukan kepada setiap hamba Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat nanti. Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya:
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340)
Sekarang cobalah mengoreksi diri kalian sendiri, sudahkah kalian mengisi masa muda kalian untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala? Ataukah kalian isi masa muda kalian dengan perbuatan maksiat yang mendatangkan kemurkaan-Nya?
Kalau kalian masih saja mengisi waktu muda kalian untuk bersenang-senang dan lupa kepada Allah subhanahu wata’ala, maka jawaban apa yang bisa kalian ucapkan di hadapan Allah subhanahu wata’ala Sang Penguasa Hari Pembalasan? Tidakkah kalian takut akan ancaman Allah subhanahu wata’ala terhadap orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah mengancam pelaku kejahatan dalam firman-Nya:
مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An Nisa’: 123)
Bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah kesempatan di masa muda kalian ini untuk kebaikan.
Ingat-ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kalian lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah subhanahu wata’ala.
Jauhi Perbuatan Maksiat
Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala.
Wahai para pemuda, senantiasa iblis, setan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Setiap amalan kejelekan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Al Zalzalah:8
Setan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, itu merupakan wujud solidaritas dan kekompakan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)
Demikianlah setan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai sarana untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka.
Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu
Wahai para pemuda, setelah kalian mengetahui bahwa tugas utama kalian hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata, maka sekarang ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ala hanya menerima amalan ibadah yang dikerjakan dengan benar. Untuk itulah wajib atas kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama, mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam ini, mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Dengan ilmu agama, kalian akan terbimbing dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, sehingga ibadah yang kalian lakukan benar-benar diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak orang yang beramal kebajikan tetapi ternyata amalannya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, karena amalannya tidak dibangun di atas ilmu agama yang benar.
Oleh karena itu, wahai para pemuda muslim, pada kesempatan ini, kami juga menasehatkan kepada kalian untuk banyak mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis ilmu, mendengarkan Al Qur’an dan hadits serta nasehat dan penjelasan para ulama. Jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagi diri kalian, terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.
Ketahuilah, menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.
“Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224)
Akhir Kata
Semoga nasehat yang sedikit ini bisa memberikan manfaat yang banyak kepada kita semua. Sesungguhnya nasehat itu merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, bahkan saling memberikan nasehat merupakan salah satu sifat orang-orang yang dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al ‘Ashr:
وَالْعَصْ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)
Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.
Sumber: Buletin Al-Ilmu, Penerbit Yayasan As-Salafy Jember
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=418)

Fatwa – Fatwa Yang Berkaitan Dengan Darah Wanita ( bag 5)



Cairan Kuning Setelah Masa Haid
Fadhilatusy Syaikh ditanya: Apakah hukum cairan berwarna kuning yang keluar dari wanita sesudah masa sucinya?
Beliau menjawab:
Kaidah umum dalam permasalahan ini dan permasalahan yang semisalnya bahwa cairan kuning atau keruh sesudah masa haid tidak diperhitungkansebagai haid. Hal ini berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah:
“Kami tidak memperhitungkan warna kuning dan keruh sesudah masa suci (sebagai darah haid).”
Sebagaimana kaidah yang umum juga agar seorang wanita jangan tergesa-gesa untuk segera mandi hanya karena melihat darahnya berhenti sampai betul-betul dia melihat al-qashshatul baidha sebagaimana perkataan ‘Aisyah kepada para wanita sahabat yang mereka datang dengan membawa kapas:
“Jangan kalian tergesa-gesa (untuk bersuci) sampai kalian melihat al-qashshatul baidha.”
Pada kesempatan ini kami peringatkan kepada para wanita dengan peringatan yang tegas dari penggunaan pil-pil pencegah haid. Karena pil-pil tersebut sebagaimana yang aku yakini dari keterangan dokter yang aku tanyai baik yang ada di wilayah timur maupun barat dari dokter-dokter Saudi, alhamdulillah. Begitu juga keterangan dari para dokter utusan di kerajaan (Saudi) ini yang berada di wilayah tengah, di mana mereka sepakat bahwa pil-pil ini berbahaya. Sebagian mereka telah menuliskan untukku 14 bahaya yang timbul akibat pil-pil tersebut. Yang paling bahayanya akan menyebabkan terlukanya rahim. Luka ini akan menyebabkan berubahnya dan kacaunya darah. Ini perkara yang bisa disaksikan dan betapa banyak masalah-masalah yang menimpa wanita akibat penggunaan pil-pil tersebut. Di antaranya juga akan membahayakan janin-janin di masa yang akan datang. Jika yang terlahir wanita, maka tidak dinikahi karena kemandulannya. Tentu ini merupakan bahaya yang sangat besar.
Sesungguhnya manusia, dengan akalnya walaupun bukan seorang dokter, walaupun tidak mengerti kedokteran, dia tahu bahwa mencegah sesuatu yang sifatnya alami ini yang telah Allah jadikan pada waktu-waktu tertentu, dia tahu bahwa hal itu akan membahayakan, sebagaimana seseorang yang berusaha untuk menahan kencing atau beraknya, tidak diragukan lagi akan membahayakannya.
Begitu pula dengan darah alami yang telah Allah tetapkan ini pada anak keturunan Adam dari jenis wanita ini. Tidak diragukan lagi bahwa usaha untuk menahannya agar tidak keluar pada waktu nyang semestinya akan membahayakan wanita.
Kami peringatkan kepada para wanita dari penggunaan pil-pil ini. Begitu juga kami harapkan para lelaki agar sadar dan melarang mereka dari perbuatan tersebut. Wallahul Muwaffiq
Hukum Pil Pencegah Haid
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang hukum penggunaan pil-pil pencegah haid?
Beliau menjawab:
Penggunaan pil-pil pencegah haid jika tidak membahayakan kesehatan, maka tidak mengapa, dengan syarat diijinkan oleh suaminya.
Akan tetapi sebatas pengetahuanku bahwa pil-pil ini membahayakan para wanita. Sebagaimana diketahui bahwa keluarnya darah haid adalah sesuatu yang sifatnya alami. Sesuatu yang sifatnya alami, jika dihalangi keluarnya dari waktu yang semestinya pasti akan memunculkan gangguan pada tubuhnya. Demikian juga termasuk bahayanya akan mengacaukan kebiasaan haidnya. Sehingga dia dalam kebimbangan terhadap shalatnya dan juga dalam hubungan dengan suaminya, dan lain-lain. Karena itu aku tidak mengatakan bahwa penggunaannya adalah perkara yang haram, tetapi aku tidak suka jika para wanita menggunakannya karena bahaya yang dikhawatirkan akan menimpanya.
Aku katakan: semestinya seorang wanita ridha dengan ketentuan Allah padanya. Nabi pada tahun beliau berhaji mendatangi ‘Aisyah, sementara beliau sedang dalam keadaan menangis dan beliau telah berihram untuk umrah. Nabi bersabda:
“Ada apa denganmu, apakah engkau nifas (yakni haid)? Aku menjawab: benar. Beliau bersabda: Ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan pada wanita anak keturunan nabi Adam.”
Semestinya dia bersabar dan mengharap pahala. Jika dia terhalangi untuk bisa berpuasa dan shalat maka sesungguhnya pintu dzikir senantiasa terbuka untuknya, alhamdulillah. Dia bisa berdzikir kepada Allah dengan mengucapkan tasbih. Dia juga bisa bershadaqah, berbuat baik kepada manusia dengan ucapan dan perbuatan dan ini termasuk seutama-utama amalan.

Fatwa – Fatwa Yang Berkaitan Dengan Darah Wanita ( bag 4




Keluar Darah Setelah Menjalani Operasi
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang seorang wanita yang dilakukan operasi pada dirinya. Sesudah itu sekitar empat atau lima hari sebelum masa biasanya mengalami haid, keluar darah hitam bukan darah haid biasanya. Setelah itu langsung dia mengalami hari-hari haid sebagaimana biasanya. Apakah hari-hari keluar darah sebelum hari yang biasanya mengalami haid dihitung sebagai masa haid juga?
Beliau menjawab:
Rujukan dalam masalah ini dikembalikan kepada para dokter. Karena yang nampak, bahwa darah tersebut akibat dari operasi. Dan darah yang muncul akibat operasi tadi, tidaklah hukumnya seperti hukum haid berdasarkan sabda Nabi terhadap wanita yang mengalami istihadhah:
“Sesungguhnya hal itu hanyalah darah urat (yang terbuka).”
Maka dalam sabda beliau tersebut ada isyarat bahwa jika darah tersebut darah urat (yang terbuka) dan masuk di dalamnya darah akibat operasi, maka tidak dianggap sebagai darah haid. Dengan demikian tidak haram baginya melakukan perkara yang haram dilakukan bagi wanita yang sedang haid. Wajib baginya menunaikan shalat dan berpuasa jika hal itu terjadi di siang ramadhan.
Masa Haid Berubah
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang seorang wanita yang kebiasaan haidnya enam hari, kemudian bertambah masa haidnya.
Beliau menjawab:
Jika kebiasaan haidnya enam hari, kemudian kebiasaan haidnya bertambah menjadi sembilan atau sepuluh atau sebelas hari, maka selama masa itu dia tinggal ( tidak shalat dan tidak puasa) hingga dia suci. Karena Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tidak membatasi bilangan hari tertentu untuk haid ini. Sedangkan Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang darah haid. Katakanlah: Dia adalah sesuatu yang kotor,…”(Al-Baqarah:222)
Sehingga kapanpun darah haid tersebut masih tersisa, maka berlaku padanya hukum haid sampai dia bersih dari haidnya kemudian mandi dan shalat. Jika pada bulan yang kedua masa haidnya berkurang dibandingkan dengan bulan yang sebelumnya, maka dia mandi sesudah bersih dari haidnya walaupun haid yang dia alami masanya berbeda dengan bulan yang sebelumnya.
Yang penting, kapan saja seorang wanita mengalami haid maka dia meninggalkan shalat, baik haidnya sesuai dengan kebiasaannya yang sudah lewat atau berkurang dari kebiasaannya. Jika dia sudah bersih dari haidnya maka dia menunaikan shalat kembali.
Awal Haid Berubah
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang seorang wanita yang biasa mengalami haid di awal bulan, kemudian dia mengalaminya di akhir bulan. Bagaimana hukumnya?
Beliau menjawab:
Jika haid seorang wanita mundur dari waktu biasanya, misalnya dia biasa mengalaminya di awal bulan, kemudian mundur hingga akhir bulan. Yang benar, kapanpun dia mendapati darah haidnya maka dia haid, dan kapan saja dia bersih dari darah tersebut maka dia suci, berdasarkan keterangan yang lalu.
Masa Haid Maju
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang seorang wanita yang biasa mengalami haid di akhir bulan, kemudian dia mengalaminya di awal bulan. Bagaimana hukumnya?
Beliau menjawab:
Jika haid wanita maju dari masa biasanya, misalnya dia biasa mengalaminya di akhir bulan, kemudian mengalaminya di awal bulan, maka dia dihukumi haid sebagaimana penjelasan yang lalu.
Mengqadha Shalat karena Haid yang Terputus-putus
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang seorang wanita yang mengalami haid kemudian bersih dari haidnya dan diapun mandi. Setelah dia shalat selama sembilan hari, darahnya keluar lagi sehingga diapun tidak shalat selama tiga hari. Kemudian suci dan diapun shalat selama 11 hari. Kemudian berjalan haidnya sebagaimana bulan-bulan yang sebelumnya. Apakah dia harus mengqadha shalat yang selama 3 hari ditinggalkan (karena keluar darah) tersebut ataukah diperhitungkan sebagai haid?
Beliau menjawab:
Haid, kapanpun datangnya tetap hukumnya haid, sama saja rentang waktunya antara haid tersebut dengan haid yang sebelumnya panjang ataukah pendek. Jika dia haid kemudian baru suci setelah lima, enam atau sepuluh hari, kemudian datang haid yang berikutnya maka diapun tidak melakukan aktivitas ibadah. Dan begitu seterusnya, setiap kali suci kemudian datang haidnya maka dia berhenti dari shalat. Adapun jika darah terus menerus keluar atau hanya berhenti sebentar sekali, maka dia dihukumi istihadhah, dia tetap melaksanakan shalat kecuali pada waktu biasa datang haidnya (sebelum dia mengalami istihadhah-pen) maka dia berhenti shalat.
Darah Keluar Melampaui Kebiasaan Masa Haid
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang seorang wanita yang biasa haid selama enam hari pada setiap awal bulan, kemudian darah terus keluar. Bagaimana hukum darah tersebut?
Beliau menjawab:
Kondisi seorang wanita yang biasa haid selama enam hari pada setiap awal bulan, kemudian keluar darah secara terus menerus, maka wajib bagi dia berhenti shalat selama waktu dia terbiasa mengalami haid. Dia meninggalkan shalatnya selama enam hari pada setiap awal bulan dan berlaku hukum-hukum haid padanya. Adapun hari-hari lainnyadihukumi istihadhah, sehingga ketika melewati enam hari tersebut segera dia mandi dan melakukan shalat dan tidak mempedulikan darah yang keluar tersebut. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anha:
Fatimah bintu Abi Hubaisy Radliyallaahu ‘anha berkata: Wahai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, sesungguhnya aku mengalami istihadhah dan tidak pernah suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat? Beliau menjawab:
“Tidak, sesungguhnya itu hanyalah urat (pada rahim) yang terbuka. Akan tetapi tinggalkan shalat seukuran engkau biasa mengalami haid, kemudian mandi (haid)lah dan shalatlah!” (HR. Al-Bukhari)
Dan di dalam Shahih Muslim, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin:
“Tinggallah selama haid biasanya menahanmu (dari ibadah-pen) setelah itu mandi dan shalatlah!”
( diambil dari buku Problema Darah Wanita, Ash Shaf Media)

Fatwa – Fatwa Yang Berkaitan Dengan Darah Wanita ( bag 3)

Menggauli Istri di Akhir Massa Haid
Fadhilatusy Syaikh ditanya apakah boleh menuruti tuntutan suami agar melayaninya di akhir kebiasaan bulanannya?
Beliau menjawab :
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa penulis mengetahui bahwa wanita yang memiliki kebiasaan bulanan yang jelas, maka tidak boleh suaminya menggaulinya pada waktu tersebut. Maka tidak boleh suaminya menggaulinya pada waktu tersebut. Ini adalah perkara yang ma’lum sebagaimana firman Allah :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“ Dan mereka bertanya kepadamu tentang darah haid. Katakanlah Dia adalah sesuatu yang kotor, maka jauhilah wanita yang sedang di saat haid. Dan jangan kalian dekati hingga mereka suci. Jika mereka telah suci. Jika mereka telah suci maka datangilah mereka sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang – orang yangbertaubat dan orang – orang yang mensucikan diri.” (Al-Baqarah :222 )
Para ulama telah sepakat bahwa seorang suami haram menggauli istrinya ketika dia sedang haid, dan wajib bagi istri untuk menolak permintaan suaminya pada kondisi yang seperti itu, dan menyelisihi suaminya tidak menurutinya, karena yang seperti itu adalah haram. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam perkara yang merupakan maksiat kepada Al-Khaliq (Allah).
Adapun berlezat – lezat dengan istri selain jima’, maka tidak mengapa. Sebagaimana berlezat – lezat dengannya diluar kemaluan istri. Jika dengan perbuatan tersebut mengalami inzal (keluar mani), maka wajib untuk mandi. Jika tidak, maka tidak ada kewajiban mandi. Jika sang suami yang mengalami inzal, maka wajib baginya untuk mandi adapun istri tidak. Jika istrinya yang mengalaminya, maka wajib baginya untuk mandi adapun suaminya tidak. Jika keduanya mengalaminya, maka wajib bagi keduanya untuk mandi. Karena mandi merupakan perkara yang wajib disebabkan keluar mani baik dengan perjima’an ataupun sebab-sebab lainnya; juga karena perjima’an walaupun tidak mengalami inzal. Dan masalah yang kedua ini kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Dan pada kesempatan ini saya katakan: Sesungguhnya seorang wanita jika dia terkena kewajiban untuk mandi, maka wajib baginya untuk mengguyur seluruh badannya, rambutnya serta kulit dibawah rambutnya dan tidak menyisakan sedikitpun dari permukaan tubuhnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Jika kalian dalam keadaan junub, maka bersucilah” (Al-Ma’idah :6)
Allah tidak mengecualikan satu anggota badanpun. Sehingga wajib bagi seorang wanita untuk mengguyur seluruh tubuhnya. Jika pada diri seseorang ada balutan luka atau yang lainnya, maka cukup dengan diusap permukaannya, dan tidak perlu tayammum, karena usapan tadi telah menggantikan bilasan pada kondisinya yang seperti itu.
Darah yang meragukan
Fadhilatusy Syaikh ditanya jika kondisi darah yang keluar tersamar, sehingga si wanita tidak bisa membedakan apakah darah tersebut darah haid atau istihadhah atau yang lainnya. Dengan apa penentuannya?
Beliu menjawab:
Pada asalnya darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita adalah darah haid, sampai jelas tanda-tanda yang menunjukkan bahwa darah tersebut darah istihadhah. Maka dia memperhitungkanbahwa darah tersebut  darah haid selama belum ada kejelasan bahwa darah tersebut darah istihadhah.
Meninggalkan Shalat karena Keluar Darah yang Diduga Darah Haid
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang seorang wanita yang darahnya keluar selama 9 hari, maka dia meninggalkan shalat dengan keyakinan darah tersebut adat haidnya. Setelah berlalu beberapa hari (sesudah berhenti) keluar darah seperti adat dia yang sesungguhnya. Apakah yang harus dia lakukan, apakah dia mengqadha shalat yang dia tinggalkan tersebut, atau bagaimana?
Beliau menjawab:
Yang lebih utama dia mengqadha shalat yang dia tinggalkan pada kemunculan darah yang pertama tadi (yang diluar adatnya). Jika tidak, maka tidak mengapa. Karena ketika ada seorang wanita yang menyampaikan keluhan kepada Nabi bahwa dia mengalami istihadhah dengan darah yang demikian banyak dan ketika itu dia tinggalkan shalatnya, Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam  tidak memerintahkannya untuk mengqadha shalat yang dia tinggalkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menentukan haidnya enam atau tujuh hari, dan menyuruhnya untuk shalat pada hari-hari lainnya dalam sebulannya dan beliau tidak memerintahkannya untuk mengulang shalat yang ditinggalkannya.
Jika dia mengulangi shalatnya,maka ini baik, karena dia telah meremehkan perkaranya dengan tidak mau segera menanyakan apa yang dialaminya. Jika tidak mengulangi, tidak ada dosa baginya.
Haid Setelah Masuk Waktu Shalat
Fadhilatusy Syaikh ditanya jika seorang wanita mengalami haid sesudah waktu shalat, apakah dia mengqadha shalat yang telah masuk waktunyatersebut?
Beliau menjawab:
Jika haid terjadi sesudah masuk waktu shalat, seperti seseorang mengalaminya setengah jam setelah tergelincir matahari (waktu dzuhur), maka sesudah suci dari haidnya dia mengqadha shalat dzuhur tersebut, berdasarrkan firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat adalah suatu kewajiban bagi kaum mu’minin yang telah ditentukan waktunya” (An-Nisaa’ :103)
Dia tidak mengqadha shalat yang dia tinggalkan selama haid berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang panjang:
“Bukankah jika wanita sedang haid, dia tidak melaksanakan shalat, tidak juga puasa?”.
Para ulama telah sepakat, bahwa seorang wanita tidak mengqadha shalat yang ditinggalkan selama haid tersebut.
Adapun jika dia telah mengalami suci dan masih tersisa waktu untuk bisa menyelesaikan satu rakaat shalat atau lebih, maka dia menunaikan shalat yang dia dapati waktunya tersebut berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“barangsiapa mendapati satu rakaat shalat Ashar sebelu matahari terbenam maka dia mendapatkan shalat Ashar” (Muttafaq ‘alaih)
Jika dia telah suci pada waktu Ashar atau sebelum terbit matahari, dan waktu yang tersisa sebelum matahari terbenam atau sebelum terbitnya seukuran satu rakaat, maka dia segera shalat Ashar untuk kondisi pertama dan dia segera shalat Shubuh untuk kondisi yang kedua.
( diambil dari buku Problema Darah Wanita, Ash Shaf Media)

Fatwa – Fatwa Yang Berkaitan Dengan Darah Wanita ( bag 2)




Wanita haid shalat karena malu
Fadhilatul Syaikh ditanya apakah boleh seseorang yang sedang haid melaksanakan shalat karena malu?
Beliau menjawab :
Wanita yang tidak boleh shalat berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  dalam Hadist Abu Sa’id :
“ Bukankah jika wanita sedang haid dia tidak melaksanakan shalat, tidak juga puasa” ( Muttafaq’alaih )
Maka dia tidak melaksanakan shalat dan shalat haram baginya, serta tidak sah jika dia melaksanakannya. Dan seorang wanita tidak diperintahkan mengqadah ( yang ditinggalkan karena haid) berdasarkan ucapan ‘Aisyah radhiyallahu anha
“ Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqhada shalat”
Shalat yang dia lakukan karena malu haram hukumnya. Tidak boleh dia melakukan untuk shalat jika sudah bersih tetapi belum mandi haid. Jika dia tidak mendapati air , maka melakukan tayamum kemudian shalat sampai dia mendapati air kemudian ia melakukan mandi. Wallahul muwafiq
Shalat wanita yang sedang haid
Fadhilatul Syaikh ditanya tentang seorang yang sedang haid kemudian shalat. Bagaimana hukum amalan tersebut?
Beliau menjawab :
Tidak halal bagi wanita seorang untuk melaksanakan shalat jika dia sedang haid atau nifas, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam   tentang keadaan wanita :
“ Bukankah jika wanita sedang haid dia tidak melaksanakan shalat, tidak juga puasa?”
Kaum muslimin telah ijma’ bahwa tidak halal bagi seorang wanita yang sedang haid untuk berpuasa dan shalat. Wajib bagi wanita yang melakukan perkara tadi ( shalat dalam keadaan malu, karena haid) untuk bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah Subhanahuwata’ala atas perbuatanya tersebut.
Haid setelah jima’
Fadhilatul Syaikh ditanya seorang yang keluar darah haidnya disebabkan perjima’an. Kemudian dia meninggalkan shalat. Apakah dia harus mengqadha shalatnya?
Beliau menjawab :
Seorang wanita yang mengalami haid tidak mengqadha shalatnya jika ada sebab yang menjadikan haid. Sehingga darah haid tersebut betul – betul turun ( keluar ). Karena haid adalah darah yang jika keluar maka berlaku hukum haid. Sebagaimana pula  seorang wanita yang menggunakan obat pencegah haid, sehingga darah haidnya tidak keluar. Maka dia tetap shalat dan puasa dan tidak menqadha puasa karena dia tidak mengalami haid. Maka huumnya itu beredar bersama dengan sebab. Allah Subhanahuwata’ala berfirman ;
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
“ Dan mereka bertanya kepadamu tentang darah haid katakan : dia adalah sesuatu yang kotor, maka jauhilah wanita di saat haid. Dan janganlah kalian dekati hingga mereka suci.” ( Al Baqarah : 222)
Sehingga kapan saja kotoran tersebut didapati, berlaku hukum. Jika tidak maka tidak berlaku.
Hukum wanita haid yang membaca Al Qur’an
Fadhilatusy Syaikh ditanya apakah boleh seorang yang sedang haid membaca Al Qur’an ?
Beliau menjawab :
Seorang haid dibolehkan membaca Al Qur’an untuk suatu hajat ( kebutuhan ) seperti dia seorang pengajar, maka dia membaca Al Qur’an untuk dia ajarkan, atau seorang pelajar, maka dia membaca dalam rangka untuk belajar, atau jika tidak dia butuh untuk mengajari anak – anaknya yang masih kecil maupun yang sudah besar, maka dia mencotohkan dengan mengulang – ngulang membacakan ayat untuk ditirukan mereka.
Yang penting jika ada hajat yang menuntut seorang wanita yang sedang haid untuk membaca Al Qur’an, maka dibolehkan dan tidak ada penghalang perkara ini. Demikian pula jika dia khawatir lupa ( hafalannya) maka dia membaca dalam rangka mengingat – ingat, dan tidak ada dosa dengan membacannya.
Sebagian ulama berpendapat akan kebolehan membaca Al Qur’an bagi wanita yang sedang haid secara  mutlak, tidak terkait dengan adanya hajat. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hal itu haram walaupun ada hajat.
Dari pendapat di atas, yang wajib untuk dikalahkan : bahwa jika ada hajat dalam rangka untuk mengajarkan, belajar, khawatir lupa, maka tidak mengapa.
Hukum wanita haid memasuki masjid
Fadhilatul Syaikh ditanya apakah seroang yang sedang haid boleh menghadiri majlis dzikir ( ilmu ) di masjid ?
Beliau menjawab :
Wanita yang sedang haid tidak boleh berdiam di masjid. Adapun sekedar melewati ( dalam ruangan ) masjid maka tidak mengapa, dengan syarat aman dari kemungkinan darahnya mengotori masjid. Jika keadaanya tidak boleh untuk berdiam diri di masjid, maka tidak boleh baginya untuk pergi ke masjid dalam rangka mendengarkan majlis ilmu atau membaca Al Qur’an.
Kecuali jika ada tempat di luar masjid, dimana suara penceramah sampai ke tempat tersebut melalui pengeras suara, maka yang demikian tidak mengapa, untuk mendengarkan penjelasan ilmu atau bacaan Al Qur’an. Karena telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bahwa beliau bersandar dipangkuan ‘Aisyah radhiyallahu anha  dan beliau membaca Al Qur’an padahal ‘Aisyah radhiyallahu anha sedang haid.
Adapun pergi ke masjid untuk berdiam diri disana dalam rangkan mendengarkan ilmu ataupun bacaan Al Qur’an, maka yang demikian tidak boleh. Karena itu ketika hajjatul wada’ disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam   bahwa Shafiyah mengalami haid, beliau bersabda : “ Apakah Engkau menahannya?”, karena beliau menyangka bahwa Shafiyah belum melakukan thawaf ifadhah. Mereka menjawab bahwa dia sudah melakukannya.
Ini adalah dalil yang menunjukan bahwa wanita haid tidak boleh berdiam di masjid walaupun untuk beribadah. Dan telah shahih pula dari beliau bahwa beliau memerintahkan para wanita agar keluar mendatangi tempat shalat ied dalam rangka shalat ied dan dzikir dan beliau memerintahkan para wanita haid untuk menjahui tempat shalat
( diambil dari buku Problema Darah Wanita, Ash Shaf Media)

Fatwa – Fatwa Yang Berkaitan Dengan Darah Wanita ( bag 1)



Batasan usia haid
Fadhilatusy Syaikh ( Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin)  -semoga Allah Subhanahuwata’ala meninggikan derajatnya bersama orang – orang yang mendapatkan petunjuk ditanya tentang pembatasan sebagian ahli fiqih bahwa awal haid dimulai usia 9 tahun dan akhir haid pada usia 50 tahun. Apakah ada dalil akan pembatasan tersebut?
Beliau menjawab :
Penentuan Bahwa awal haid dimulai usia 9 tahun dan akhir haid pada usia 50 tahun tidak ada dalil padanya. Yang benar, jika seorang wanita melihat darahnya yang dikenal di kalangan wanita bahwa itu adalah darah haid, maka dia haid berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى
“ dan mereka bertanya kepadamu tentang darah haid katakan : dia adalah sesuatu yang kotor…( Al Baqarah : 222 )
Allah mengaitkan hukum dengan keberadaan darah haid tersebut dan tidak membatasi  dengan usia tertentu. Maka wajib untuk kembali kepada perkara yang dengannya dikaitkan hukum, yaitu keberadaan darah. Sehingga kapan saja didapati darah haid maka berlaku hukum – hukum haid padanya. Dan kapan saja tidak mendapatinya maka tidak berlaku hukum haid padanya.
Sehingga kapan saja seorang wanita yang keluar darah haidnya maka dia haid walaupun usianya belum genap 9 tahun atau sudah melewati 50 tahun. Karena suatu pembatasan butuh kepada dalil, dan ternyata tidak ada dalil dalam perkara ini.
Keluar darah setelah melewati usia 50 tahun
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang seorang wanita yang telah melewati usia 50 tahun, kemudian keluar darah dengan sifat yang dikenal ( sebagai sifat darah haid ) sedangkan wanita yang lain melewati usia 50 tahun, kemudian keluar darah tanpa sifat yang dikenal, akan tetapi berwarna kuning atau keruh ?
Beliau menjawab
Seorang wanita yang mendapati darah dengan sifat yang dikenal maka darahnya darah haid yang benar – benar berdasarkan pendapat yang kuat. Karena tidak ada batasan usia maksimal seorang mengalami haid. Dengan dasar itu maka berlaku hukum – hukum haid yang sudah dikenal terkait dengan keluarnya darah tersebut, seperti menjahui shalat, puasa dan berjima’ serta berkewajiban baginya untuk mandi ( ketika selesai haidnya ) dan lain sebagainya.
Adapun jika cairan yang keluar tersebut berwarna kuning atau keruh, jika terjadi di masa biasanya mengalami haid maka berarti darah haid. Apabila jika terjadinya di luar masa biasanya mengalami haid maka bukan darah haid. Adapun jika darah tersebut darah haid yang dikenal, akan tetapi datangnya maju atau mundur dari biasanya, maka maju atau mundurnya tersebut tidak berpengaruh terhadap haidnya, bahkan dia hendaknya duduk ( tidak shalat dan tidak puasa –pen) jika datang haidnya dan dia harus mandi jika sudah berhenti haidnya.
Adapun menurut madzab ( Hambali ) tidak terjadi  haid setelah usia 50 tahun walaupun darah yang keluar berwarna hitam seperti biasa ( pada masa haid –pen),maka tetap wanita tersebut puasa dan shalat dan tidak melakukan mandi ketika berhenti darahnya. Akan tetapi pendapat ini tidak benar.
Haid wanita hamil.
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang darah yang keluar dari wanita yang sedang hamil ?
Beliau menjawab :
Wanita hamil tidak mengalami haid, sebagaimana pendapat Al Imam Ahmad rahimahullah. Hanyalah para wanita diketahui mengalami hamil dengan berhenti haidnya.
Sedangkan darah haid, sebagaimana keterangan para ulama. Allah menciptakannya hikmahnya sebagai sumber makanan bagi janin di dalam perut ibunya. Jika terjadi kehamilan maka berhentilah darah haidnya.
Akan tetapi sebagian wanita terkadang terus mengalami haid sebagaimana sebelum  hamilnya, maka darah yang keluar tersebut dihukumi sebagai darah haid yang sebenarnya. Karena haidnya tetap datang sebagaimana biasanya dan tidak berpengaruh haidnya dan tidak berpengaruh dengan kehamilanya.
Sehingga dengan haidnya tersebut menjadi penghalang baginya dari setiap perkara yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang haid dalam keadaan tidak hamil, dan mewajibkannya setiap perkara yang wajib dilakukan oleh orang yang sedang haid, serta menggugurkannya setiap perkara yang menggugurkan kewajiban bagi orang yang sedang haid.
Kesimpulannya darah yang keluar dari wanita yang sedang hamil ada dua macam :
1. Darah yang dihukumi sebagai darah haid. Jika darah tersebut keluar sebagaimana kebiasaan dia sebelum hamil. Karena kejadian tersebut sebagai dalil bahwa kehamilannya tidak mempengaruhi haidnya sehingga darah tersebut di hukumi darah haid.
2. Darah yang muncul pada seorang yang hamil, bisa karena suatu peristiwa, karena mengakat sesuatu atau karena jatuh atau sebab – sebab lainya. Maka darah tersebut bukan darah haid, tetapi darah yang keluar dari urat. Maka keluarnya darah tersebut tidak menghalanginya dari shalat, juga puasa. Dan wanita tersebut dalam hukum wanita pada masa sucinya.
Batasan lamanya haid
Fadhilatusy Syaikh ditanya apakah ada batasan yang  jelas minimal ataupun maksimal berapa hari seorang mengalami haid ?
Beliau menjawab
Menurut pendapat yang benar tidak ada batasan minimal atau maksimal beberapa hari seorang wanita yang mengalami haid. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ
“ Dan mereka bertanya kepadamu tentang darah haid. Katakan  : Dia adalah suatu yang kotor, maka jauhilah wanita yang sedang haid. Dan jangan kalian dekati hingga mereka suci ( Al Baqarah : 222 )
Allah tidak menjadikan batas larangannya berdasarkan hari – hari tertentu, akan tetapi batasannya adalah ketika wanita tersebut suci dari haidnya. Maka hal ini menunjukkan alasan hukum larangan tadi adalah ada atau tidak adanya darah haid. Kapan saja darah haid tersebut keluar, maka berlaku hukum haid, jika suci dari darah tersebut maka hilang pula hukum haid darinya.
Juga tidak ada dalil akan pembatasan jumlah darah haid, sementara keterangan akan perkara tersebut sangat dibutuhkan. Kalau seandainya pembatasan haid dengan umur tertentu atau bilangan hari tertentu adalah perkara yang ditetapkan oleh syariat, niscaya perkara tersebut diterangkan di dalam kitabullah dan sunnah Nabi.
Berdasarkan keterangan di atas, kapan saja seorang wanita mendapati darah yang dikenal di kalangan wanita sebagai darah haid tanpa dibatasi dengan waktu tertentu, kecuali jika darah tersebut terus  – menerus keluat atau terhenti dalam waktu singkat seperti sehari atau dua hari dalam sebulannya, maka dengan keadaan tersebut dihukumi sebagai darah istihadhah.
( diambil dari buku Problema Darah Wanita, Ash Shaf Media)

Sabtu, 30 Maret 2013

Jual Beli Kredit Riba





Apakah proses jual beli motor dengan cara kredit, sebagaimana yang ada pada zaman sekarang ini termasuk praktik ribawi ? (085730XXXXXX)
Jawab :
Akad jual beli motor/mobil dengan cara kredit yang ada pada zaman sekarang di diler-diler adalah riba, ditinjau dari dua sisi:
1. Ada syarat denda pada akad bagi yang menunggak. Tidak benar mengatakan boleh dengan alasan  seseorang akan membayarnya tanpa menunggak sehingga tidak terkena denda. Sebab, hal itu adalah akad riba dari asalnya, walaupun dengan niat akan melunasinya tanpadenda. Lagi pula,
siapa yang bisa memastikan dia tidak akan menunggak?
2. Angsuran dibayarkan ke lembaga finance yang menalangi setiap motor/mobil yang dicicil oleh nasabah, tidak dibayarkan ke diler (penjual). Hal itu karena motor/mobil yang dikreditkan oleh diler telah ditalangi/ditebus secara kontan oleh finance tersebut. Artinya, pembeli sebenarnya diutangi secara tidak langsung oleh finance tersebut agar bisa membeli motor/mobil yang dinginkan, lalu pembeli membayar utang itu kepadanya dengan nilai lebihbesar (harga cicil). Ini adalah rekayasa riba yang dikenal dengan istilah i’nah model tiga pihak. Wallahu a’lam. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Sumber: Tanya Jawab Ringkas. Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 084

Bahayakah Mioma dan Kista Bagi Ibu Hamil?

 
Dijawab oleh: dr. Detty Siti Nurdiati MPh, PhD, SpOG
Pertanyaan:
Seorang ibu hamil yang hari perkiraan lahir atau HPL-nya tinggal seminggu lagi, ternyata memiliki kista/myoma. Apakah yang demikian ini membahayakan janinnya? Dan Apakah bila sudah setelah melahirkan ia bisa/boleh hamil lagi?
Jawab:
Kista dan myoma adalah penyakit yang berbeda. Kista biasanya berasal dari inung telur sering disebut sebagai kista ovarium, sedangkan myoma berasal dari rahim, disebut myoma uteri.
Kista ovarium terbanyak dari folikel sel telur, yang seharusnya pecah saat terjadi ovulasi pada masa subur. Kista bisa berisi cairan maupun masa padat, tergantung dari jenisnya, bisa bersifat jinak atau ganas. Kista ovarium seringkali ditemukan secara tidak sengaja paa pemeriksaan rutin saat kehamilan. Biasanya bersifat jinak dan tidak membutuhkan intervensi operasi. Kehamilan bisa diteruskan dan persalinan bisa dilakukan secara normal. Operasi hanya dilakukan apabila ada kecurigaan kearah keganasan atau bila ada kegawatan atau torsi (terputar) atau bila kisata membesar dengan cepat sehingga mengganggu kehamilan.
Myoma uteri mrupakan pertumbuhan sel rahim yang tidak pada tempatnya dengan penyebab yang belum diketahui. Myoma bersifat jinak dan terdapat tiga jenis myoma, yaitu intramural (tumbuh dalam dinding rahim), subserosa (dinding luar rahim), dan submukosa (didalam rahim). Myoma akan membesar dengan adanya kehamilan karena pengaruh hormon selama hamil. Sebagian besar ibu hamil tidak mempunyai keluhan dan biasanya ditemukan pada saat pemeriksaan ultrasonografi dan atau saat pemeriksaan dalam. Pengaruh myoma terhadap kehamilan dan persalinan tergantung dari besar dan letak myoma. Myoma dalam kehamilan dapat menimbulkan resiko keguguran dan persalinan prematur, juga meningkatkan kemungkinan macetnya persalinan, kelainan presentasi (posisi) janin, pendarahan pasca persalinan, dan meningkatkan kemungkinan persalinan dengan bedah sesar. Penangan myoma biasanyadilakukan setelah persalinan, setelah sebelumnya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, karena di harapkan myoma dapat mengecil dengan kembalinya hormon pada keadaan sebelum hamil.
Ibu dengan kista ovarium dan myoma uteri dianjurkan untuk konsultasi pada doktr spesialis obstetri dan ginekologi untuk melihat perkembangan kista dan myomanya sebelum memutuskan untuk hamil lagi
Wallahu a’lam bish shawwab. 
Sumber: Majalah Muslim Sehat Vol.1/edisi 03/1432H-2011. Ditulis ulang untuk blog http//:rumahusahaku.wordpress.com

Ketika Suamiku Diam-Diam Menikah Lagi




Memang bukan menjadi syarat sang suami menikah lagi harus seijin istri, namun diantara bentuk muamalah yang baik sudah seyogyanya suami membicarakan tentang keinginannya untuk menikah lagi.  Disamping itu karena sebagian besar istri kaum muslimin tidak memahami syariat ini dengan baik sehingga tidak menutup kemungkinan melakukan tindakan yang akan membuat masalah ketika dirinya menikah lagi, seorang suami yang cerdik tentu akan memperhatikan segala sesuatu yang memungkinkan akan menjadi masalah dikemudian hari ketika dirinya berpoligami.  “Lajnah Da’imah pernah ditanya dengan sebuah pertanyaan
مما لا شك به أن الإسلام أباح تعدد الزوجات، فهل على الزوج أن يطلب رضا زوجته الأولى قبل الزواج بالثانية؟.
“Sesuatu yang tidak diragukan bahwa agama islam membolehkan laki-laki untuk menikah dengan poligami, apakah wajib bagi suami untuk meminta keridhaan istri pertamanya sebelum menikah untuk yang kedua?
Maka di jawab:
ليس بفرض على الزوج إذا أراد أن يتزوج ثانية أن يرضي زوجته الأولى، لكن من مكارم الأخلاق وحسن العشرة أن يطيب خاطرها بما يخفف عنها الآلام التي هي من طبيعة النساء في مثل هذا الأمر، وذلك بالبشاشة وحسن اللقاء وجميل القول، وبما تيسر من المال إن احتاج الرضا إلى ذلك.
“Bukan suatu kewajiban atas suami yang ingin menikah lagi untuk yang kedua, istri pertamanya harus ridha, tetapi diantara kebaikkan akhlak dan baiknya mua’malah dengan menghibur istrinya dengan apa yang dapat meringankan kesedihan darinya. Yang merupakan tabiat para wanita sedih dalam permasalahan seperti ini. Hal itu dilakukan dengan menampakan wajah yang beseri, pertemuaan yang menyenangkan, ucapan yang baik dan dengan apa yang yang dimudahakan dari harta jika dibutuhkan untuk mendapatkan ridhanya.”
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
(Fatwa Lajnah Da’imah, diketuai oleh Syaikh Ibnu Baaz:18/402)
Dan tak sedikit sebagian isteri dari kaum muslimin dinegeri ini yang suaminya berpoligami merasa sangat kecewa ketika tanpa sepengetahuannya ternyata suaminya menikah lagi diam-diam, akhirnya sebagian istri ada yang terus menuntut cerai kepada suaminya. Walaupun hal ini sebuah sikap yang salah, namun suami yang cerdik tentu berusaha untuk mengatisipasi hal ini terjadi.
Adapun bagi istri yang melakukan hal ini saya ingatkan dengan sebuah hadits dimana Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
”Setiap isteri yang meminta cerai kepada suaminya dengan sesuatu yang tidak dibolehkan maka diharamkan baginya bau harumya surga ” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majjah).
Seorang istri seharusnya sadar bahwa suaminya hanya melakukan perkara yang mubah (boleh) hukumnya yang merupakan haknya. tidak boleh seorang isteri yang menghalangi suaminya untuk berpoligami jika dia mampu berbuat adil.
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“ Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja. “ (An Nisa’ : 3)
Apalagi ada alasan yang kuat sampai hukumnya wajib yang mendorong suaminya untuk menikah lagi.
Bukan sebuah masalah suami yang berpoligami. Namun yang menjadi masalah kalau suaminya tidak berbuat adil dalam poligaminya ini baru masalah.!!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Barangsiapa yang memiliki dua orang istri, lalu ia condong kepada salah seorang dari keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat sedangkan bahunya dalam keadaan miring sebelah.” (HR. Abu Daud, Nasa’i, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwail Ghalil : 2017)
Maka wajib seorang istri menerima syariat poligami yang agung ini yang mempunyai banyak kebaikkan yang kembalinya kepada semua pihak termasuk kaum wanita.
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahdzab: 36)
Dan bagi suami yang ingin berpoligami hendaknya memperhatikan syarat-syarat seorang suami dibolehkan untuk berpoligami. Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimhaullah pernah ditanya dengan sebuah pertanyaan
ما هي الشروط التي (إذا توفرت) جاز للرجل أن يتزوج بأكثر من زوجة واحدة؟.
“Apa syarat-syarat yang apabila terpenuhi boleh bagi sesorang untuk menikah lebih dari satu istri?
الحمد لله: الزواج بأكثر من زوجة واحدة أمر مطلوب بشرط : أن يكون الإنسان عنده قدرة مالية ، وقدرة بدنية ، وقدرة على العدل بين الزوجات . فإنَّ تعدُّد الزوجات يحصل به من الخير تحصين فروج النساء اللاتي تزوجهن ، وتوسيع اتصال الناس بعضهم ببعض ، وكثرة الأولاد ، التي أشار النبي صلى الله عليه وسلم إليها في قوله : ( تزوجوا الودود الولود ) وغير ذلك من المصالح الكثيرة
“Alhamdulillah: pernikahan lebih dari satu istri adalah perkara yang dituntut dengan syarat: sesorang mampu secara harta, badan dan mampu berbuat adil diantara para istri. maka sesunggunya poligami akan menghasilkan kebaikkan menjaga kemaluan para wanita yang dinikahinya, memperluas hubungan persaudaraan diantara manusia sebagian  dengan sebagian lainnya, dalam rangka memperbanyak anak sebagaimana yang diisyaratkan dengan sabdanya “menikahlah dengan wanita penyayang dan banyak anak” dan selain dari itu dari kebaikkan yang banyak” (Fatawa Ibnu Utsaimin)
Begitu juga yang penting untuk diperhatikan bagi suami yang ingin berpoligami hendaknya berusaha memberikan pemahaman yang baik tentang syariat yang agung ini, sehingga dengan sebab itu istrinya lebih siap ketika suaminya menikah lagi. Wallahu a’lam bish shawwab
 ditulis oleh Abdullah al-Jakarty
sumber: http://bilahatirindupoligami.wordpress.com/2013/03/13/ketika-suamiku-diam-diam-menikah-lagi/

KISAH SEBATANG KAYU

Ini adalah Kisah Orang-orang yang Menunaikan Amanat.

Kisah ini terjadi pada umat terdahulu. ada seseorang yang ingin berhutang kepada temannya sebanyak seribu dinar. temannya pun bersedia memberikan pinjaman uang itu. saat temannya meminta saksi, orang itu mengatakan, "Cukuplah Allah yang menjadi saksi", lalu temannya meminta jaminan kepadanya. kembali orang itu mengatakan, "Cukuplah Allah sebagai penjamin." Sang teman pun meerasa cukup dengan jawabannya. maka dia serahkan seribu dinar itu kepadanya. Orangitupun berjanji akan membayar  hutangnya pada waktu tertentu. Dia pun pergi.

Dia mulai berdagang di negeri seberang. Waktu berlalu hingga tiba saat pembayaran hutang. Namun, orang itu masih di negeri seberang. Dia menuju pantai, mencari perahu yang bisa mengantarkannya ke negeri temannya, untuk membayar hutang yang telah ia janjikan. Namun, setelah lama menanti perahu itu tak kunjung tiba. Dia hanya melihat sebatang kayu. Demi memenuhi janjinya, ia pun mengambil kayu tersebut, melubanginya dan memasukkan uang seribu dinar itu ke dalamnya. Bersama uang itu, dia juga kirimkan surat yang menceritakan tentang keadaannya. Setelah itu ia tutup kembali lubang itu, dihanyutkannya kayu ke laut sambil berdo'aagar Allah menjaga harta itu dan menyampaikanya pada temannya.

Di negerinya, sang teman pun pergi ke pantai. Menantikan adakah pereahu yang membawa temanya datang untuk memenuhi janjinya. Setelah lama meanti, dia tidak juga melihat sebuah perahu pun. Hanya sebatang kayu yang hanyut, yang lama kelamaan menepi ke pantai. Lalu ia ambil kayu itu dengan maksud untuk dijadikan sebagai kayu bakar. Setibanya di rumah, saat ia belah kayu itu, ternyata dia dapati uang dan sepucuk surat dari temannya.

Walaupun sudah mengirimkan pesan lewat sebatang kayu, orang yang berhutang tidak lantas merasa puas. Dia tetap berusaha mencari perahu untuk datang membayar hutang. Sampai suatu saat dia dapatkan perahu itu. Setelah bertemu temannya, dia pun menceritakan kisahnya, sehingga iai terlambat membayar hutang. Namun, ketika ia hendak menyerahkan seribu dinar itu, temannya menolak dan menyampaikan bahwa ia telah mendapatkan kayu yang menyampaikan pesan beserta uang seribu dinar miliknya.

Jumat, 29 Maret 2013

PATUTKAH KITA MEYOMBONGKAN DIRI???

Sungguh Allah Ta'ala Maha Besar, melihat ciptaannya saja kita sudah tidak mampu apalagi melihat Rabbul 'Alamin..., Renungkanlah bacaan dibawah ini, semoga kita terhindar dari perbuatan Sombong. Sesungguhnya kita sangat kecil di hadapan Rabb. Ini beberapa gambar mengenai perbandingan ukuran bumi, diantara beberapa bagian di jagat raya ini yang semuanya adalah ciptaan Allah Ta'ala.

Ini perbandingan Bumi dengan planet yang lebih kecil lainnya,
Ini bumi dibandingkan dengan planet planet yang lebih besar.. Ada Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus.
   
http://anehdidunia.com
Perhatikan, Bumi tidak ada apa-apanya dengan Matahari   
http://anehdidunia.com
Matahari sangat kecil jika dibandingkan dengan Arcturus, Bagaimana dengan Bumi ?
http://anehdidunia.com
Matahari yang kita rasa sangat besar, jika di bandingkan dengan planet Antares, sangat jauh lebih kecil.
http://anehdidunia.com
Antares Kalah dengan Pistol Star   
http://anehdidunia.com
Pistol Star Masih jauh dibawah VV Cephei (Bintang Terbesar Yang Ditemukan)
Manusia Hanya Setitik Debu 
Matahari Sudah Seperti Debu
Manusia Hanya Setitik Debu
Dengan perbandingan diatas tadi, setidaknya kita menjadi sadar betapa kecilnya bumi, apalagi kita sebagai penghuninya. Terbayang jelas jagat raya yang sangat besar pada gambar skala-skala diatas. Bumi kita tidak kelihatan lagi di sini , bahkan matahari hanya sebesar debu.

Saya sempat berpikir juga… Siapakah kita…?
Layakah kita sombong dihadapan RABB ?
Apakah tujuan hidup kita…?
Apa yang membuat hidup kita, manusia, berharga, mulia dihadapan RABB…?

Bumi saja yang menurut kalian besarnya cuma setitik, gimana kalian yang sangat kecil??? jadi.. tidaklah pantas manusia berjalan di atas muka bumi ini dengan sombong terhadap sesama makhluk Tuhan, apalagi berlaku sombong terhadap Penciptanya, Yang Maha Besar.
Dan disini matahari sudah tak terlihat, bagaimana dengan bumi..? BAGAIMANA DENGAN KITA ???
APA PANTAS KITA SOMBONG? Manusia hanya setitik debu.
Sumber : www.anehdidunia.com

Kamis, 28 Maret 2013

Ketika Tangan Memukul Anak




Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah Bintu ‘Imran

Anak tak selamanya harus disikapi lembut. Terkadang kita perlu menghukumnya karena kenakalan atau kesalahan mereka. Tentunya semua itu dalam bingkai pendidikan. Sehingga tidak bertindak berlebihan yang justru mempengaruhi kejiwaan si anak.
Anak, bagaimanapun juga tak terlepas dari berbagai macam tingkah dan polahnya. Beragam perilaku dapat kita saksikan pada diri mereka. Masing-masing anak dalam satu keluarga pun seringkali berbeda perangainya. Terkadang di antara mereka ada yang nampak amat patuh dan sangat mudah diatur. Sedangkan yang lain, demikian bandel atau sering melakukan berbagai pelanggaran.
Yang demikian ini tentu tak boleh dibiarkan. Mau tak mau, orang tua harus mengetahui seluk-beluk mengarahkan anak. Haruskah segala keadaan dihadapi dengan kelemahlembutan dan penuh toleransi? Atau sebaliknya, selalu diatasi dengan hardikan dan wajah yang garang?
Selayaknya orang tua mengetahui sisi-sisi yang perlu dipertimbangkan ketika hendak menghukum anak, karena setiap keadaan menuntut sikap yang berbeda. Orang tua perlu meninjau, apakah permasalahan yang terjadi merupakan sesuatu yang betul-betul tercela atau tidak? Apakah si anak yang melakukannya mengetahui akan kejelekan dan bahaya hal tersebut, ataukah dia dalam keadaan tidak mengerti tentang hal itu maupun hukumnya?
Pada dasarnya, orang tua perlu menyertakan kelemahlembutan dalam mengarahkan anak-anaknya. Demikianlah contoh yang dapat ditemukan dari sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengarahkan dan membimbing umat beliau. Bahkan demikianlah sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan dalam Kitabullah:
“Maka karena rahmat Allah-lah engkau bersikap lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kaku dan keras hati, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu mengatakan: “Ini adalah akhlak Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala utus dengan membawa akhlak ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/106).

Bukankah termasuk kewajiban terbesar dan perkara terpenting bagi seseorang untuk meneladani akhlak beliau yang mulia ini? Serta bergaul dengan manusia sebagaimana beliau bergaul, dengan sikap lembut, akhlak yang baik dan melunakkan hati mereka, dalam rangka menunaikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memikat hati hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengikuti agama-Nya? (Taisirul Karimir Rahman, hal. 154).

Begitu banyak anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap lemah lembut. Di antaranya disampaikan oleh istri beliau, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ketika beliau bersabda:

“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Allah memberikan pada kelembutan apa yang tidak Dia berikan pada kekerasan dan apa yang tidak Dia berikan pada yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2593).
Maknanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pahala atas kelembutan yang tidak Dia berikan pada yang lainnya. Al-Qadhi mengatakan bahwa maknanya, dengan kelembutan itu akan dapat meraih berbagai tujuan dan mudah mencapai apa yang diharapkan, yang tidak dapat diraih dengan selainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/144)
Demikian pula ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengisahkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kepadanya:

“Hendaklah engkau bersikap lembut. Karena tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali pasti memperindahnya. Dan tidaklah kelembutan itu tercabut dari sesuatu, kecuali pasti memperjeleknya.” (HR. Muslim no. 2594)
Maksudnya, hendaklah engkau bersikap lembut dengan berlemah lembut kepada siapa pun yang ada di sekitarmu, sederhana dalam segala sesuatu dan menghukum dengan bentuk yang paling ringan dan paling baik. (Faidhul Qadir, 4/334)
Dalam riwayat dari Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang terhalang dari kelembutan, dia akan terhalang dari kebaikan.” (HR. Muslim no. 2592).

Oleh karena itu, apabila orang tua ingin memperbaiki keadaan anaknya, hendaknya menggunakan kata-kata yang lembut dan berbagai bentuk anjuran. Apabila tidak memungkinkan menggunakan kata-kata yang baik, maka dapat digunakan ucapan yang mengandung hardikan, juga ancaman sesuai dengan kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan. Apabila hal itu tidak dapat dilakukan dan tidak memberi manfaat, maka saat itulah dibutuhkan pukulan.

Namun bagaimanapun, keadaan setiap anak berbeda. Demikian pula tabiat mereka. Di antara mereka ada yang cukup dengan pandangan mata untuk mendidik dan memarahinya, dan hal itu sudah memberikan pengaruh yang cukup mendalam serta membuatnya berhenti dari kesalahan yang dilakukannya. Ada anak yang bisa mengerti dan memahami maksud orang tua ketika orang tua memalingkan wajahnya sehingga dia berhenti dari kesalahannya. Ada yang cukup diberi pengarahan dengan kata-kata yang baik. Ada pula anak yang tidak dapat diperbaiki kecuali dengan pukulan. Tidak ada yang memberi manfaat padanya kecuali sikap yang keras. Saat itulah dibutuhkan pukulan dan sikap keras sekedar untuk memperbaiki keadaan si anak dengan tidak melampaui batas. Ibarat seorang dokter yang memberikan suntikan kepada seorang pasien. Suntikan itu memang akan terasa sakit bagi si pasien, namun itu hanya diberikan sesuai kadar penyakitnya. Sehingga boleh seseorang bersikap keras terhadap anak-anaknya manakala melihat mereka lalai atau mendapati kesalahan pada diri mereka. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 170-171)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya apabila mereka enggan menunaikan shalat ketika telah berusia 10 tahun. Demikian yang disampaikan Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan menunaikannya.” (HR. Abu Dawud no. 494, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)
Banyak contoh yang dapat dilihat dari para pendahulu kita yang shalih. Di antaranya dikisahkan oleh Nafi’ rahimahullahu, maula (bekas budak) Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:
“Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf)
Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah:

“Pernah disebutkan tentang pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, maka beliau pun berkata, ‘Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia telungkup menangis di tanah.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad)

Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu:

“Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.” (HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)

Para ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan memukul wajah secara tegas. Karena wajah merupakan sesuatu yang lembut yang terkumpul padanya seluruh keindahan. Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah demikian berharga, dan sebagian besar penginderaan seseorang diperoleh dengan anggota tubuh tersebut. Sehingga terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan atau mengurangi fungsi anggota tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah cacat. Sementara cacat di wajah itu sendiri demikian buruk karena nampak jelas dan tidak mungkin ditutupi. Dan pada umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas dari kemungkinan timbulnya cacat. Termasuk pula dalam larangan ini seseorang yang memukul istri, anak, ataupun budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia hindari wajah. (Syarh Shahih Muslim, 16/164)

Hal lain yang perlu diperhatikan pula, pukulan pada si anak adalah semata-mata dalam rangka mendidik. Yang dimaksud dengan pukulan yang mendidik adalah pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan seorang ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124)
Semua ini perlulah kiranya untuk diketahui oleh orang tua yang hendak mengarahkan anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka, manakala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang laki-laki adalah penanggung jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya tentang mereka. Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya, dan kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab harta tuannya dan kelak dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829)

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber: www.asysyariah.com
Powered by Blogger