Menggauli Istri di Akhir Massa Haid
Fadhilatusy Syaikh ditanya apakah boleh menuruti tuntutan suami agar melayaninya di akhir kebiasaan bulanannya?
Beliau menjawab :
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa penulis mengetahui bahwa wanita yang memiliki kebiasaan bulanan yang jelas, maka tidak boleh suaminya menggaulinya pada waktu tersebut. Maka tidak boleh suaminya menggaulinya pada waktu tersebut. Ini adalah perkara yang ma’lum sebagaimana firman Allah :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“ Dan mereka bertanya kepadamu tentang darah haid. Katakanlah Dia adalah sesuatu yang kotor, maka jauhilah wanita yang sedang di saat haid. Dan jangan kalian dekati hingga mereka suci. Jika mereka telah suci. Jika mereka telah suci maka datangilah mereka sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang – orang yangbertaubat dan orang – orang yang mensucikan diri.” (Al-Baqarah :222 )
Para ulama telah sepakat bahwa seorang suami haram menggauli istrinya ketika dia sedang haid, dan wajib bagi istri untuk menolak permintaan suaminya pada kondisi yang seperti itu, dan menyelisihi suaminya tidak menurutinya, karena yang seperti itu adalah haram. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam perkara yang merupakan maksiat kepada Al-Khaliq (Allah).
Adapun berlezat – lezat dengan istri selain jima’, maka tidak mengapa. Sebagaimana berlezat – lezat dengannya diluar kemaluan istri. Jika dengan perbuatan tersebut mengalami inzal (keluar mani), maka wajib untuk mandi. Jika tidak, maka tidak ada kewajiban mandi. Jika sang suami yang mengalami inzal, maka wajib baginya untuk mandi adapun istri tidak. Jika istrinya yang mengalaminya, maka wajib baginya untuk mandi adapun suaminya tidak. Jika keduanya mengalaminya, maka wajib bagi keduanya untuk mandi. Karena mandi merupakan perkara yang wajib disebabkan keluar mani baik dengan perjima’an ataupun sebab-sebab lainnya; juga karena perjima’an walaupun tidak mengalami inzal. Dan masalah yang kedua ini kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Dan pada kesempatan ini saya katakan: Sesungguhnya seorang wanita jika dia terkena kewajiban untuk mandi, maka wajib baginya untuk mengguyur seluruh badannya, rambutnya serta kulit dibawah rambutnya dan tidak menyisakan sedikitpun dari permukaan tubuhnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Jika kalian dalam keadaan junub, maka bersucilah” (Al-Ma’idah :6)
Allah tidak mengecualikan satu anggota badanpun. Sehingga wajib bagi seorang wanita untuk mengguyur seluruh tubuhnya. Jika pada diri seseorang ada balutan luka atau yang lainnya, maka cukup dengan diusap permukaannya, dan tidak perlu tayammum, karena usapan tadi telah menggantikan bilasan pada kondisinya yang seperti itu.
Darah yang meragukan
Fadhilatusy Syaikh ditanya jika kondisi darah yang keluar tersamar, sehingga si wanita tidak bisa membedakan apakah darah tersebut darah haid atau istihadhah atau yang lainnya. Dengan apa penentuannya?
Beliu menjawab:
Pada asalnya darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita adalah darah haid, sampai jelas tanda-tanda yang menunjukkan bahwa darah tersebut darah istihadhah. Maka dia memperhitungkanbahwa darah tersebut darah haid selama belum ada kejelasan bahwa darah tersebut darah istihadhah.
Meninggalkan Shalat karena Keluar Darah yang Diduga Darah Haid
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang seorang wanita yang darahnya keluar selama 9 hari, maka dia meninggalkan shalat dengan keyakinan darah tersebut adat haidnya. Setelah berlalu beberapa hari (sesudah berhenti) keluar darah seperti adat dia yang sesungguhnya. Apakah yang harus dia lakukan, apakah dia mengqadha shalat yang dia tinggalkan tersebut, atau bagaimana?
Beliau menjawab:
Yang lebih utama dia mengqadha shalat yang dia tinggalkan pada kemunculan darah yang pertama tadi (yang diluar adatnya). Jika tidak, maka tidak mengapa. Karena ketika ada seorang wanita yang menyampaikan keluhan kepada Nabi bahwa dia mengalami istihadhah dengan darah yang demikian banyak dan ketika itu dia tinggalkan shalatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk mengqadha shalat yang dia tinggalkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menentukan haidnya enam atau tujuh hari, dan menyuruhnya untuk shalat pada hari-hari lainnya dalam sebulannya dan beliau tidak memerintahkannya untuk mengulang shalat yang ditinggalkannya.
Jika dia mengulangi shalatnya,maka ini baik, karena dia telah meremehkan perkaranya dengan tidak mau segera menanyakan apa yang dialaminya. Jika tidak mengulangi, tidak ada dosa baginya.
Haid Setelah Masuk Waktu Shalat
Fadhilatusy Syaikh ditanya jika seorang wanita mengalami haid sesudah waktu shalat, apakah dia mengqadha shalat yang telah masuk waktunyatersebut?
Beliau menjawab:
Jika haid terjadi sesudah masuk waktu shalat, seperti seseorang mengalaminya setengah jam setelah tergelincir matahari (waktu dzuhur), maka sesudah suci dari haidnya dia mengqadha shalat dzuhur tersebut, berdasarrkan firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat adalah suatu kewajiban bagi kaum mu’minin yang telah ditentukan waktunya” (An-Nisaa’ :103)
Dia tidak mengqadha shalat yang dia tinggalkan selama haid berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang panjang:
“Bukankah jika wanita sedang haid, dia tidak melaksanakan shalat, tidak juga puasa?”.
Para ulama telah sepakat, bahwa seorang wanita tidak mengqadha shalat yang ditinggalkan selama haid tersebut.
Adapun jika dia telah mengalami suci dan masih tersisa waktu untuk bisa menyelesaikan satu rakaat shalat atau lebih, maka dia menunaikan shalat yang dia dapati waktunya tersebut berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“barangsiapa mendapati satu rakaat shalat Ashar sebelu matahari terbenam maka dia mendapatkan shalat Ashar” (Muttafaq ‘alaih)
Jika dia telah suci pada waktu Ashar atau sebelum terbit matahari, dan waktu yang tersisa sebelum matahari terbenam atau sebelum terbitnya seukuran satu rakaat, maka dia segera shalat Ashar untuk kondisi pertama dan dia segera shalat Shubuh untuk kondisi yang kedua.
( diambil dari buku Problema Darah Wanita, Ash Shaf Media)