Selasa, 05 April 2011

AR-RADHÂ (HUKUM PENYUSUAN)

Saat bayi mungil yang didamba sepasang suami isteri telah lahir menghiasi hari-hari indah keduanya, seluruh anggota keluarga menyambut dengan penuh suka cita. Sang ibu mendekatkan sosok mungil itu ke dadanya maka dengan segera mulut kecilnya menempel untuk mulai menyusu. Demikian fitrah yang Allah SWT ciptakan. Dengan hikmah-Nya Allah bebankan tugas menyusui itu kepada seorang ibu, setelah sebelumnya Dia Yang Maha Kuasa melengkapi tubuh sang ibu dengan organ menyusui.

Masalah penyusuan ini telah diatur hukum-hukumnya dalam syariat yang mulia ini1 dan pembahasannya turut mewarnai kitab-kitab para ulama. Allah SWT berfirman:
         •                                                   •    •   •    
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban bagi ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf . Tidaklah satu jiwa dibebani kecuali sekadar kemampuannya. Janganlah seorang ibu mengalami kemudlaratan karena anaknya , demikian pula seorang ayah . Dan pewaris anak itu pun memiliki kewajiban yang sama. Apabila keduanya (ayah dan ibu) ingin menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan dengan musyawarah , maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak-anak kalian disusukan oleh orang (wanita) lain maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran dengan cara yang ma’ruf. Bertakwalah kalian kepada Allah, ketahuilah bahwasanya Allah Maha Melihat terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS al-Baqarah/2: 233)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini merupakan bimbingan dari Allah SWT kepada para ibu agar mereka menyusui anak-anak mereka dengan penyusuan yang sempurna yaitu selama dua tahun sehingga setelah lewat dua tahun tidaklah teranggap, karena itulah Allah menyatakan: “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, 1/290)

Setelah usia dua tahun, air susu ibu bukan lagi sumber makanan bagi si anak namun ia telah berpindah kepada makanan yang lain. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seorang anak yang menyusu telah sempurna usianya dua tahun maka berarti telah sempurna penyusuannya. Setelah itu jadilah air susu kedudukannya seperti makanan yang lainnya sehingga penyusuan setelah dua tahun tidak teranggap dalam masalah kemahraman.” (Taisîr al-Karîmir Rahmân, hal. 104)

Menyusui anak selama dua tahun penuh ini bukanlah satu kemestian, sehingga boleh menyapihnya kurang dari dua tahun sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah di atas : “Apabila keduanya (ayah dan ibu) ingin menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan dengan musyawarah, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qurân, 3/107) Namun keputusan untuk menyapih ini harus datang dari kedua orang tua dan berdasarkan musyawarah keduanya dengan melihat maslahat (kebaikan) untuk diri si anak (Tafsîr Ibn Katsîr, 1/291).

Allah SWT berfirman:
 ...          •  
“... Dan jika kalian ingin anak-anak kalian disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran dengan cara yang ma’ruf.” (QS al-Baqarah/2: 233)

Dari sini kita tahu bolehnya menyusukan anak pada wanita lain. Kebiasaan menyusukan anak pada orang lain ini telah dikenal di kalangan bangsa Arab dan merupakan sesuatu yang lumrah bagi mereka. Rasulullah s.a.w. sendiri memiliki beberapa ibu susu, di antaranya Halimah As-Sa’diyyah.. Putra beliau (Nabi s.a.w.) juga disusukan pada wanita lain sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik r.a., ia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda:
وُلِدَ لِي اللَّيْلَةَ غُلَامٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيمَ ثُمَّ دَفَعَهُ إِلَى أُمِّ سَيْفٍ امْرَأَةِ قَيْنٍ
”Tadi malam lahir putraku, maka aku namakan dengan nama ayahku, Ibrahim”. Kemudian beliau menyerahkan Ibrahim, putranya, kepada Ummu Saif, isteri Abu Saif seorang pandai besi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ans bin Malik))

Anas bin Malik r.a. juga berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالْعِيَالِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ إِبْرَاهِيمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِينَةِ فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ فَيَدْخُلُ الْبَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ ثُمَّ يَرْجِعُ.
“Tidak pernah aku melihat seorang pun yang paling penyayang kepada anak-anak daripada Rasulullah s.a.w.. Adalah Ibrahim putra beliau disusui di sebuah perkampungan yang ada di Madinah. Suatu ketika beliau pergi menjenguk putranya dan kami ikut menyertai. Lalu beliau masuk ke rumah orang tua susu Ibrahim yang penuh dengan asap. Karena memang suami dari ibu susu Ibrahim seorang pandai besi. Beliau pun mengambil putranya dan menciumnya. Setelah itu beliau kembali.” (HR. Muslim)

Ketika Ibrahim meninggal dunia, Rasulullah s.a.w. bersabda:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ ابْنِي وَإِنَّهُ مَاتَ فِي الثَّدْيِ وَإِنَّ لَهُ لَظِئْرَيْنِ تُكَمِّلَانِ رَضَاعَهُ فِي الْجَنَّةِ
“Anakku Ibrahim meninggal dalam usia menyusui (sumber makanannya adalah air susu) dan di surga ia memiliki dua ibu susu yang akan menyempurnakan penyusuannya.” (HR. Muslim dari Anas bin Malik)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadis ini menunjukkan “mubah”nya (kebolehan) menyusukan anak kepada orang lain.” (Syarh Shahîh Muslim, 15/76)

Ulama menyenangi agar wanita yang menyusui si anak adalah wanita yang baik akhlaknya karena penyusuan itu dapat mengubah tabiat (Al-Mughnî, 8/155), oleh karena itu mereka membenci bila seorang anak disusui oleh wanita kafir, fasik, jelek akhlaknya atau menderita penyakit berbahaya/menular. (Taisîrul ‘Allâm, 2/379)

Mahram Karena Penyusuan

Dengan disusukannya seorang anak (laki-laki) kepada wanita lain terjalinlah hubungan mahram antara wanita tersebut selaku ibu susu dan anak yang disusuinya (anak susu) beserta segenap keturunan dan kerabat ibu susu, sehingga haram bagi anak susu menikahi mereka.

Allah SWT berfirman:
  •         •      •                                     
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu ; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisa’/4: 23)

Dalam ayat di atas Allah SWT hanya menyebutkan dua golongan wanita yang haram dinikahi karena hubungan penyusuan, ibu susu dan saudara wanita sepersusuan. Adapun golongan wanita yang lain seperti anak perempuan karena susuan, bibi susu (saudara perempuannya ibu susu/khalah dan saudara perempuannya ayah susu/’amah), anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan dan anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan (keponakan susu) juga haram dinikahi dengan bersandar pada sabda Rasulullah s.a.w.:
إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ
“Sesungguhnya penyusuan itu menjadikan haram (seperti) apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab)”.8 (HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Amrah binti Abdirrahman)

Dengan demikian, ibu susu, saudara perempuan sepersusuan, anak perempuan susu, saudara perempuannya ibu susu (bibi/khalah susu), saudara perempuannya ayah susu (bibi/amah susu), anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan (keponakan susu) dan anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan (keponakan susu) merupakan mahram bagi seorang laki-laki.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata: “Setiap wanita yang haram (dinikahi) karena hubungan nasab maka diharamkan pula yang semisalnya karena hubungan penyusuan. Mereka adalah para ibu, anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, amah, khalah, keponakan perempuan dari saudara laki-laki dan dari saudara perempuan dengan bentuk yang telah kami jelaskan dalam masalah nasab, berdalilkan sabda Nabi s.a.w.:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena penyusuan.” (HR al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud)

Dalam riwayat lain:
الرَّضَاعُ يُحَرَّمُ مَا تُحَرَّمُ الوِلَادَةُ
“Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).” (Al-Mughnî, 7/87)

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah menyatakan: “Apabila seorang wanita menyusui seorang bayi laki-laki (yang bukan anaknya), wanita ini menjadi haram (dinikahi) si anak (bila telah dewasa –pent.) karena wanita ini adalah ibunya (karena susuan), haram pula bagi anak susu ini menikahi putri ibu susunya karena merupakan saudara perempuannya, haram baginya menikahi saudara perempuan ibu susu karena dia adalah khalahnya, haram baginya ibunya ibu susu karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putrinya ayah susu (suami ibu susu yang menjadi sebab keluarnya air susu tersebut) karena dia adalah saudara perempuannya, haram baginya saudara perempuan ayah susu karena dia adalah amahnya, haram baginya ibunya ayah susu karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putri-putri dari anak laki-laki ataupun anak perempuan ibu susu (cucunya ibu susu) karena mereka adalah putri-putri dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya sepersusuan.” (Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qurân, 5/72)
Ketika Rasulullah s.a.w. ditawari oleh Ali bin Abi Thalib untuk menikahi putri pamannya, Hamzah bin Abdil Muthalib, beliau menolak dengan menyatakan:
إِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِى إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِى مِنَ الرَّضَاعَةِ
“Putri Hamzah tidak halal bagiku, karena dia itu putri saudara sepersusuanku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbas)

Demikian pula ketika terdengar kabar bahwa beliau akan melamar Durrah bintu Abi Salamah. Maka beliau menyangkal dengan menyatakan bahwa Durrah tidaklah halal bagi beliau, di samping karena Durrah adalah anak tiri beliau, putri dari isteri beliau, Ummu Salamah r.a., juga di karenakan Durrah ini adalah putri dari saudara lakil-laki beliau sepersusuan, karena beliau dan Abu Salamah pernah disusui oleh Tsuwaibah. (HR. Muslim no. 1449)

Al-Imam an-Nawawi berkata: “Hadis-hadis (dalam masalah) ini sepakat menyatakan adanya hubungan mahram karena penyusuan. Umatpun sepakat akan pastinya hal ini antara anak susu dan ibu susu, maka jadilah anak yang disusui itu seperti anaknya sendiri hingga haram selama-lamanya bagi si anak untuk menikahi ibu susunya. Dan halal bagi si anak untuk melihat ibu susunya, berduaan dengannya dan safar bersamanya.” (Syarh Shahîh Muslim, 10/19).

Beliau rahimahullah juga menyatakan: “Umat sepakat pula tentang tersebarnya hubungan hurmah (kemahraman sehingga haram untuk dinikahi) antara ibu susu dengan putra-putranya (keturunan) anak susu, antara anak susu dengan anak-anaknya (keturunan) ibu susu, dengan demikian anak susu itu keberadaannya seperti anak ibu susu secara nasab.” (Syarh Shahîh Muslim, 10/19)

Kerabat-kerabat ibu susu merupakan kerabat bagi anak susu. Adapun kerabat anak susu selain anak turunannya tak ada hubungan antara mereka dengan ibu susu. (Nailul Authâr, 6/370, Subulus Salâm, 3/337)

Adapun dengan ayah susu, ulama berbeda pendapat. Ibnu ‘Umar, Ibnu Az-Zubair, Rafi‘ ibnu Khudaij, Zainab bintu Ummi Salamah, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Atha bin Yasar, Sulaiman bin Yasar, Abu Salamah bin Abdirrahman bin Auf dan selainnya berpendapat tidak tersebar kemahraman ini ke ayah susu namun hanya terbatas di ibu susu. Adapun jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi‘in dan fuqaha dari berbagai negeri seperti Al-Auza‘i dari penduduk Syam, Ats-Tsauri dan Abu Hanifah serta murid-murid keduanya dari penduduk Kufah, Ibnu Juraij dari penduduk Makkah, Malik dari penduduk Madinah, demikian pula Asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan para pengikut mereka berpendapat tersebar kemahraman kepada ayah susu dan kerabatnya. (Fathul Bârî, 9/183, Al-Muhallâ, 10/4, ‘Aunul Ma‘bûd, 6/41, Al-Mughnî, 7/87).

Pendapat jumhur inilah yang kuat, insya Allah, dengan didukung oleh hadis-hadis yang shahih, seperti hadis-hadis berikut ini:

Ketika ‘Aisyah r.a. sedang bersama Rasulullah s.a.w., ia mendengar suara seorang lelaki minta izin masuk ke rumah Hafshah. Aisyah r.a. pun berkata: “Wahai Rasulullah, laki-laki itu minta izin untuk masuk ke rumahmu.” Rasulullah s.a.w. pun menjawab: “Aku lihat dia adalah si Fulan (‘ammi/paman susunya Hafshah).” Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah, bila Fulan masih hidup (ia menyebut nama ami/paman susunya) apakah ia boleh masuk menemuiku?” Rasulullah s.a.w. pun menjawab:
نَعَمْ إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ
“Ya. Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Amrah binti ‘Abdirrahman)

Aflah, saudara laki-laki Abul Qu’ais, ayah susunya Aisyah, pernah datang minta izin untuk bertemu dengan Aisyah, ketika itu telah turun perintah berhijab dengan non mahram. Aisyah berkata: “Demi Allah, aku tidak akan mengizinkan Aflah, hingga aku minta izin kepada Rasulullah S.a.w. karena bukanlah Abul Qu’ais yang menyusuiku, tapi isterinya.”

Ketika datang Nabi s.a.w., Aisyah pun berkata: “Aflah saudara Abul Qu’ais, tadi datang minta izin untuk menemuiku, namun aku tidak suka mengizinkannya sampai aku minta izin kepadamu.” Nabi S.a.w. berkata: “Izinkan dia masuk menemuimu.” (HR. al-Bukhari no. 5239 dan Muslim no. 1445). Dan Nabi s.a.w. mengatakan kepada Aisyah bahwa Aflah adalah pamannya sehingga ia tidak perlu berhijab darinya.

Hadis di atas menunjukkan bahwa suami ibu susu kedudukannya seperti ayah bagi anak susu dan saudara laki-laki ayah susu kedudukannya seperti paman. Ini merupakan madzhab para imam yang empat sebagaimana pendapat jumhur sahabat, tabi‘in dan fuqaha. (Syarh az-Zarqânî ‘alâ Muwaththa’ Imâm Mâlik, 3/309)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “(Dalam hadis Aisyah di atas menunjukkan) disyariatkannya mahram untuk minta izin bila ingin masuk menemui mahramnya”. (Fathul Bârî, 9/184). Beliau rahimahullah menyebutkan bahwa saudara laki-laki dari ayah susu adalah mahram bagi anak susu.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga menegaskan hal ini dengan menyatakan terjalinnya hubungan mahram antara anak susu dengan ayah susunya, menurut pendapat jumhur ulama, sehingga anak susu seperti anaknya sendiri dan putra-putrinya ayah susu menjadi saudara si anak susu, saudara-saudaranya ayah susu baik laki-laki maupun perempuan menjadi paman dan bibinya anak susu, dan putra-putranya (keturunan) anak susu menjadi cucunya ayah susu. (Syarh Shahîh Muslim, 10/19).

Dengan demikian bila seorang laki-laki/suami memiliki dua isteri atau dua budak wanita, lalu keduanya hamil, melahirkan dan menghasilkan air susu, kemudian masing-masingnya menyusui anak orang lain, misalnya yang satu anak laki-laki sedangkan yang satu anak perempuan (kedua anak ini asalnya ajnabi/bukan mahram) maka dengan penyusuan tersebut kedua anak tadi menjadi mahram, haram bagi keduanya untuk menjalin hubungan pernikahan karena keduanya telah menjadi saudara sepersusuan dari ayah susu yang sama, walaupun ibu susu mereka berbeda. (Al-Muhallâ, 10/2)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata: “Tersebar pengharaman untuk menikah (karena hubungan mahram persusuan) dari sisi anak susu dan ayah susu (karena ayah susu inilah yang merupakan sebab keluarnya air susu si ibu susu dengan si ibu susu mengandung dan melahirkan anaknya) sebagaimana hal ini tersebar dalam hubungan kerabat/nasab. Adapun pada si anak susu hanya terbatas pada anak keturunannya saja”. (Taisîr al-Karîmir Rahmân, hal. 173)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Bila seorang bayi menyusu pada seorang wanita dengan lima susuan dalam usia (belum lewat) dua tahun, sebelum disapih, maka bayi itu menjadi anaknya dengan kesepakatan para imam. Dan suami dari wanita itu (yang menjadi sebab keluarnya air susu tersebut dengan melahirkan anak si suami) menjadi ayah bagi anak susu tersebut, demikian menurut kesepakatan para imam yang masyhur. Dan jadilah semua anak dari ayah dan ibu susu tersebut sebagai saudara anak susu, sama saja baik anak-anak tersebut dari pihak ayah susu saja (dari isterinya yang lain), atau dari pihak ibu susu (anak ibu susu dengan suaminya yang lain) atau anak-anak yang terlahir dari pernikahan keduanya (ayah dan ibu susu). Tidak ada perbedaan, dengan kesepakatan para imam, antara anak-anak yang menyusu bersama-sama anak susu tersebut, dengan anak-anak ibu susu yang dilahirkan sebelum terjadinya penyusuan tersebut atau sesudahnya. Maka jadilah kerabat ibu susu sebagai kerabat anak susu. Anak-anak dari ibu susu adalah saudara-saudaranya, cucu dari ibu susu adalah keponakannya (anak-anak dari saudara sepersusuannya adalah keponakannya), orang tua ibu susu (dan seterusnya ke atas) adalah kakek dan neneknya, semua saudara laki-laki dan saudara perempuan ibu susu adalah paman (khal) dan bibinya (khalah). Demikian pula kerabat bapak susu merupakan kerabat anak susu sebagaimana terjalin kekerabatannya dengan ibu susu. Adapun kerabat anak susu dari nasab atau penyusuan, mereka adalah ajnabi (non mahram) bagi ibu susu dan kerabat ibu susu, karena itu dibolehkan saudara laki-lakinya sepersusuan untuk menikah dengan saudara-saudara perempuannya dari hubungan nasab dan sebaliknya. Adapun anak-anak perempuan dari paman dan bibi susunya (misan karena susuan), halal untuk dinikahi oleh anak susu sebagaimana yang demikian itu halal dengan sebab nasab. Semua hal ini disepakati oleh ulama”. (Taudhîhul Ahkâm, Abdullah Alu Bassam, hal. 120, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, 3/159-160)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Setiap wanita yang menyusui seorang laki-laki maka wanita itu haram dinikahi lelaki tersebut karena wanita itu adalah ibunya dengan sebab penyusuan. Diharamkan bagi lelaki tersebut untuk menikahi anak-anak perempuan ibu susunya karena mereka adalah saudara-saudaranya sepersusuan, sama saja apakah mereka dilahirkan sebelum terjadinya penyusuan tersebut ataupun sesudahnya. Sebagaimana haram baginya menikahi saudara-saudara perempuan ibu susunya karena mereka itu adalah bibi-bibi susunya (khalah). Haram pula baginya menikahi ibu-ibu dari ibu susunya karena mereka adalah nenek-neneknya. Demikian pula saudara-saudara perempuan dari ayah susunya (suami ibu susu) karena mereka adalah bibi-bibinya (‘amah). Diharamkan baginya menikahi ibu-ibu dari ayah susu karena mereka adalah nenek-neneknya dari penyusuan. Diharamkan baginya menikahi setiap anak perempuan yang menyusu dari air susu isterinya karena mereka adalah putri-putrinya. Demikian pula diharamkan baginya menikahi wanita yang menyusui isterinya.” (Al-Muhallâ, 10/2)

Hubungan penyusuan ini berkaitan dengan pengharaman nikah dan semua perkara yang berkaitan dengan nikah, tersebarnya hubungan mahram dan keharaman untuk menikah antara anak susu dengan putra-putrinya ibu susu, dan kedudukan mereka seperti kedudukan karib kerabat dalam kebolehan memandang, khalwat (berdua-duaan) dan bolehnya bepergian jauh (safar) bersama saudara susu. (Fathul Bârî, 9/170).

Namun tidak semua hukum pertalian nasab berlaku dalam hubungan mahram karena penyusuan, seperti anak susu dan ibu susu tidaklah saling mewarisi, tidak wajib bagi salah satu dari dua pihak untuk menafkahi pihak yang lain, tidak gugur dari ibu susu hukuman qishash bila ia membunuh anak susunya, tidak bisa menjadi wali dalam pernikahan dan sebagainya. Sehingga dalam hukum ini keduanya seperti ajnabi (bukan mahram). (Fathul Bârî, 9/170, Syarh Shahîh Muslim, 10/19, Subulus Salâm, 3/337).
Powered by Blogger