Namanya Doni. Umurnya sekitar 4 tahun. Seperti bocah-bocah lainnya, Doni suka sekali bermain. Bedanya, doni tampak lebih aktif, lebih lincah, dan lebih banyak polah dibanding anak-anak lain yang sebaya dengannya. Awalnya, orang tua Doni mengira tingkah laku anaknya ini wajar karena yang namanya anak kecil pasti bertingkah macam-macam. Tapi, lama-lama mereka merasa ada yang beda dengan sikap Doni. Doni sangat aktif, bahkan cenderung hiperaktif, ia selalu bergerak kesana kemari sampai membuat orang tuanya malu kalau mengajak Doni ke tempat-tempat umum. Belum lagi kalau Doni belajar di playgroup. Guru doni sampai pusing bagaimana mengatasi polah anak satu itu. Setiap kali diminta untuk belajar memasang balok-balok warna, atau belajar menulis, atau belajar bernyanyi, atau belajar berhitung, Doni tidak pernah tuntas mengerjakannya. Doni cenderung mudah teralihkan perhatiannya pada suatu hal baru yang menarik perhatiannya. Guru Doni sampai bingung bagaimana membuat Doni memusatkan konsentrasi. Oleh orang tuanya, Doni di bawa ke klinik psikiatri anak, dan ternyata psikiater mendiagnosis bocah berusia 4 tahun itu menderita salah satu gangguan jiwa pada anak yang disebut dengan ADHD (Attention Deficit Hiperactivity Disorder / Gangguan Pemusatan Perhatian-Hiperaktivitas). Menurut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-IV), pada ADHD terdapat suatu pola yang menetap tentang kurangnya perhatian dan atau hiperaktivitas, yang lebih sering dan lebih berat bila dibandingkan dengan anak lain pada taraf perkembangan yang sama. Onset dari ADHD biasanya muncul pada usia 3-4 tahun dan umumnya baru terdiagnosis pada usia 7-10 tahun atau saat anak menempuh pendidikan sekolah dasar. Dalam buku sinopsis psikiatri Kaplan dan Sadock, disebutkan bahwa ADHD memiliki tiga variasi gejala klinik yang khas yaitu gangguan memusatkan perhatian / inatensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas. Inatensi dalam ADHD memiliki arti bahwa anak dengan ADHD tidak mampu memusatkan dan mempertahankan perhatian saat diberi tugas tertentu, ketidakmampuan mengingat hal-hal baru, ketidakmampuan menjalankan atau mengikuti suatu instruksi, dan ketidakmampuan melawan gangguan ketika menjalankan aktivitas tertentu.
Karena ketidakmampuan memusatkan perhatian inilah anak dengan ADHD biasanya memiliki prestasi yang lebih rendah di kelas. Sebetulnya bukan karena mereka tidak pintar, tetapi hal itu lebih disebabkan karena mereka tidak mampu memperhatikan pelajaran sampai tuntas seperti teman-teman mereka pada umumnya. Hiperaktivitas dalam ADHD tidak selalu ditunjukkan dengan anak yang naik-turun tangga atau berlari kian kemari. Perilaku gelisah dan tidak bisa diam seperti menggerak-gerakkan anggota badan tanpa tujuan, kaki digoyang-goyang, tangan memilin-milin ujung kertas atau pensil bisa jadi salah satu gejala hiperaktivitas dalam bentuk lain. Sedangkan impulsivitas dalam ADHD ditandai dengan ketidakmampuan anak untuk berfikir sebelum berbicara atau bertindak. Di dalam kelas, anak dengan gangguan ini mugkin berteriak, mengatakan sesuatu, atau mengangkat tangan terlebih dahulu, bahkan menyela sang guru ketika sedang mengerjakan tugas dengan murid yang lain. Tindakan impulsif ini juga bisa berupa tindakan yang menganggu, mendorong, atau menelepon orang lain. Anak dengan gangguan ini jika menginginkan sesuatu, mereka dapat saja merebutnya, tanpa memperhatikan apakah sikap itu salah atau benar. Dalam buku Apa dan Bagaimana Hiperkinetik pada Anak yang ditulis oleh dr. Anisa Renang Yulianti, MSc, SpKJ, ada dua faktor besar yang menjadi penyebab kelainan ADHD pada anak. Yang pertama adalah faktor psikososial, meliputi pendidikan ibu yang rendah, kemiskinan, anak yang tidak diharapkan, pola asuh yang buruk, anak-anak yang lahir di luar nikah, semua itu menjadi faktor pendukung timbulnya ADHD pada anak. Sedangkan faktor kedua adala faktor neurobiologi yang terbagi lagi menjadi tiga penyebab besar yaitu lingkungan (baik saat kehamilan, saat persalinan, maupun setelah lahir), genetik (diduga ADHD yang terjadi pada anak laki-laki disebabkan oleh kelebihan gen kromosom Y menjadi XYY), dan yang terakhir adalah neurokimia, yaitu ditemukannya reseptor dopamin D4 (DRD4) yang melimpah pada globus palidus dan pada gaba-ergik interneuron di korteks prefrontalis. Namun, penelitian untuk mencari neurotransmitter spesifik yang menyebabkan ADHD masih terus dilakukan hingga detik ini. Ada dua penatalaksanaan utama untuk kasus ADHD, yaitu farmakoterapi dan terapi kognitif-perilaku.
Untuk farmakoterapi, yang biasa digunakan pada ADHD adalah pemberian preparat Methylphenidate yang berperan dalam memblokade proses re-uptake dopamin melalui ikatannya dengan dopamine transporter (DAT) di striatum. Dosis awal pemberian Methylphenidate ini adalah 2,5-5 mg/hari dan ditingkatkan pada hari ke-5 sampai ke-7 sambil terus dievaluasi perkembangan perilakunya. Jika sudah efektif, maka dosis tersebut dipertahankan. Untuk terapi kognitif-perilaku pada ADHD bertujuan untuk meningkatkan keterampilan anak ADHD dan melatihnya untuk bisa menyelesaikan suatu masalah.
Referensi : Kaplan & Sadock. 2002. Synopsis of Pschiatry 8th-ed. Baltimore : William & Wilkins. Pp : 1193-2000. Yulianti, A.R., 2011. Apa dan Bagaimana Gangguan Hiperkinetik. Yogyakarta : Jejak Kata kita. http://netsains.com/2010/01/cara-cepat-membedakan-adhd-dan-autisme/
http://images.detik.com/content/2011/07/10/764/adhd-dalam-thinkstock.jpg