pada tahun 2000-an sebuah stasiun televisi swasta menayangkan serial kolosal berjudul “Angling Dharma”. Serial mingguan tersebut berkisah tentang dinamika Kerajaan Malawapati yang dipimpin seorang raja bernama Prabu Angling Dharma.
Pusat pemerintahan Malawapati sendiri konon berada di daerah bernama Bojanegara (sekarang Kabupaten Bojonegoro).
Serial legenda tersebut akhirnya “diberedel” pada 6 Februari 2002 gara-gara isinya menyinggung pemeluk agama Hindu. Mereka menilai film tersebut melecehkan mereka dan tidak sesuai dengan keyakinan dan ajarannya.
Terlepas dari film serial mingguannya, kisah Angling Dharma sudah menjadi hal yang sangat dekat dengan warga Bojonegoro. Entah sejak kapan, yang jelas pendapa Kabupaten Bojonegoro sendiri dinamai sesuai nama kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Angling Dharma,
Pendapa Malawapati. Persibo, klub sepakbola Kabupaten Bojonegoro, juga mendapat julukan Laskar Angling Dharma. Terakhir dan paling hangat, pemerintah daerah setempat berencana membangun sebuah museum sekaligus monumen di sebuah desa bernama Desa Wotangare, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, yang dipercaya dahulu menjadi daerah pusat pemerintahan Kerajaan Malowopati.
Pembangunan museum Angling Dharma tersebut juga memantik perdebatan sebab, beberapa daerah lain juga mengaku bahwa daerahnya menjadi lokasi “sebenarnya” dari Kerajaan Malowopati. Di antaranya, menurut sebagian teman yang berasal dari daerah itu, masyarakat Pati dan Temanggung juga mengaku bahwa daerah mereka merupakan daerah asli Angling Dharma.
Selain itu, Kabupaten Sumedang juga merasa memiliki Angling Dharma dan seolah mereka memiliki nilai lebih karena disana ada sebuah makam yang dipercaya warga merupakan makam Sang Prabu. Bojonegoro sendiri bukan tanpa alasan menyebut Malawapati berada di wilayah administratifnya.
Dua situs utama diyakini ada hubungannya dengan mitos Angling Dharma yakni Petilasan Angling Dharma di Wotangare yang akan dibangun musem, serta Kahyangan Api, sumber api abadi yang diyakini merupakan tempat empu Malowopati menempa keris dan menggembleng pasukan kerajaan. Di kedua situs ditemukan banyak benda purbakala yang menurut balai sejarah merupakan sisa benda zaman Majapahit.
Malawapati sendiri dipercaya merupakan pecahan dari Kerajaan Majapahit. Perdebatan letak geografis asal- muasal Malowopati meski sulit, mungkin akan terselesaikan lewat kajian Sejarah atau Antropologis. Namun, bukan tujuan tersebut yang hendak diusut. Dalam studi poskolonial ini, penulis mengajak kawan-kawan untuk mengeja Indigenious Local Identity yang melekat di masyarakat Bojonegoro.
Dengan demikian penulis mencoba menyingkirkan dahulu perdebatan tentang ketepatan lokasi historis (jika memang ada) kisah Angling Dharma berasal. Pelacakan kebenaran peristiwa (atau mitos) Angling Dharma sendiri sebenarnya layak untuk didiskusikan.
Perkamen sejarah tertulis yang ada tentang Sang Prabu, hanya ada di Serat Angling Dharma dari Serat Babad Tanah Jawi yang entah versi siapa pun belum jelas (adapun penulis mendapatkannya dari internet, jadi sementara boleh diasumsikan sebagai Babad Tanah Jawi versi Google). Kejanggalan yang timbul dibenak penulis adalah kelindan antara kisah Angling Dharma dengan kisah Mahabarata. Sebagian masyarakat meyakini bahwa kisah Mahabarata benar- benar terjadi di tanah Jawa. Prabu Angling Dharma juga dikisahkan merupakan keturunan le tujuh dari si tampan Arjuna. Juga merupakan cucu dari Jayabaya.
Kalau naskah sejarah paling dipercaya tentang Jawa masa lampau (Babad Tanah Jawi), nama Jayabaya dapat ditemukan dan “ada”, maka yang agak aneh adalah kepercayaan bahwa Angling Dharma juga merupakan keturunan Arjuna yang hanya ada di dunia pewayangan dapat “lahir” ke dunia nyata. Kepercayaan mendalam sekumpulan masyarakat dapat disebut sebagai ekspresi identitas yang melekat dalam masyarakat tersebut. Kepercayaan masyarakat Bojonegoro yang lekat dengan Bojanegara (tempo Malawapati) inilah yang menjadi pijakan awal penulis untuk mengkaji mitos Angling Dharma di Bojonegoro.
Pada tahap inilah mungkin dilakukan usaha demotologisasi. Demitologisasi di sini penulis artikan sebagai sebuah upaya untuk melakukan pengejaan kembali sebuah mitos dan menemukan nilai-nilai historis. Identitas Angling Dharma dan Malowopati sendiri kini terlanjur menempel erat dengan sejarah Bojonegoro sendiri.
Namun, sekali lagi, perdebatan sejarah hanya akan membuat diskursus ini tumpul saat teks baik berupa prasasti ataupun perkamen sejarah lain terkait Angling Dharma dapat ditemukan. Kesepakatan kolektif masyarakat sendiri sampai mengkultuskan Angling Dharma sebagai sosok idaman orang tua saat “menetek” anak-cucunya.
Selain tampan, beliau juga bijak dalam mengambil segala keputusan. Hal tersebut tergambar jelas di kisah dalam serial televisi Angling Dharma. Dikisahkan juga bahwa Raja pertama Malowopati tersebut juga dapat mengenal dan menguasai bahasa hewan laiknya Nabi Sulaiman AS.
Lantaran banyaknya identifikasi yang “diambil” masyarakat dari karakter Angling Dharma dari serial televisinya, penulis juga sempat curiga bahwa pengetahuan awam tentang Angling Dharma telah bersetubuh dengan industri perfilman. Bahkan serial film Angling Dharma telah memengaruhi konstruksi dan proyeksi masyarakat Bojonegoro atas identitas Prabu Angling Dharma jauh-jauh hari sebelum museum Angling Dharma diresmikan, dibangun, atau bisa jadi saat baru direncanakan.