Lutung Kasarung adalah sebuah cerita pantun yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Sunda, Jawa Barat, Indonesia. Cerita ini mengisahkan perjalanan Sanghyang Guruminda dari Kahyangan ke bumi dalam wujud seekor lutung, yaitu kera hitam berekor panjang. Ketika sampai di bumi, ia tersesat di tengah hutan. Itulah sebabnya ia dipanggil Lutung Kasarung, yaitu lutung yang tersesat. Di hutan itu, ia bertemu dengan seorang putri bernama Purbasari. Meskipun berwujud seekor lutung, Lutung Kasarung berhasil menikahi Putri Purbasari. Bagaimana usaha Lutung Kasarung untuk menikahi Putri Purbasari? Ikuti kisahnya dalam cerita Lutung Kasarung berikut ini!
* * *
Alkisah, di daerah Jawa Barat, tersebutlah seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu Tapa Agung yang bertahta di Kerajaan Pasir Batang. Sang Prabu mempunyai tujuh orang putri yang semuanya cantik jelita. Mereka adalah Purbararang (sulung), Purbadewata, Purbaendah, Purbakancana, Purbamanik, dan si bungsu, Purbasari. Dari ketujuh putri sang Prabu, lima di antaranya telah menikah dan menjadi permaisuri di kerajaan lain. Kini, tinggal Purbararang dan Purbasari yang belum menikah. Namun, Putri Purbararang sudah mempunyai tunangan yang gagah dan tampan bernama Raden Indrajaya, putra salah seorang menteri kerajaan.
Dalam beberapa hari terakhir, Prabu Tapa Agung terlihat sering duduk termenung seorang diri di atas singgasananya. Sepertinya ada suatu masalah besar yang membebani pikirannya. Melihat sikap sang Prabu tersebut, sang permaisuri berusaha menghibur dan membujuknya.
“Kanda! Sudah beberapa hari ini Kanda terlihat murung. Apa yang sedang Kanda pikirkan? Barangkali Dinda dapat membantu,” bujuk permasuri dengan suara lembut.
“Begini, Dinda! Kanda sudah semakin tua. Kanda tidak dapat lagi melaksanakan tugas-tugas kerajaan dengan baik. Kanda berniat turun tahta. Tapi, Kanda bingung, Dinda!” kata Prabu Tapa Agung.
“Bingung kenapa, Kanda?” desak permaisurinya.
Prabu Tapa Agung pun bercerita kepada permasurinya bahwa dia bingung untuk memilih di antara dua putrinya, apakah Purbararang atau Purbasari, yang akan menggantikan kedudukannya. Menurut hukum adat yang berlaku di kerajaan tersebut, yang pantas untuk menggantikannya adalah Putri Purbararang, sebab dia putri tertua. Namun, sang Prabu merasa bahwa putri sulungnya itu belum pantas menjadi seorang ratu, karena sifatnya yang sombong, angkuh, dan licik. Putri Purbararang juga sering memutuskan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya terlebih dahulu, sehingga sering menimbulkan kekacauan. Sang Prabu lebih senang jika putri bungsunya, Purbasari, yang menggantikan kedudukannya, karena dia seorang putri yang baik hati, arif, dan bijaksana. Dengan pertimbangan tersebut, maka sang Prabu dan permaisurinya memutuskan untuk memilih Purbasari menjadi Ratu.
Mendengar kabar tersebut, Putri Purbararang pun menolaknya. Ia sangat menyesal atas keputusan ayahandanya, karena merasa dialah yang lebih berhak untuk menjadi ratu. Kabar buruk itu kemudian ia sampaikan kepada tunangannya, Raden Indrajaya.
“Kanda! Ayahandaku telah pilih kasih. Ia lebih memilih Purbasari untuk menjadi ratu, padahal Dinda adalah putri tertua,” lapor Putri Purbararang .
Mendengar kabar tersebut, tunangan Putri Purbararang langsung naik pitam.
“Wah, ini tidak boleh dibiarkan, Dinda? Dindalah yang semestinya menjadi ratu!” seru Raden Indrajaya.
“Apa yang harus kita lakukan, Kanda?” tanya Putri Purbararang.
“Kita harus menyingkirkan adikmu yang tidak tahu diri itu!” seru Indrajaya.
Setelah bermusyawarah, akhirnya Putri Purbararang dan tunangannya memutuskan untuk mendatangi seorang dukun sakti yang bernama Ni Ronde. Mereka akan meminta bantuan dukun itu agar menyihir Putri Purbasari. Ni Ronde pun mengabulkan permintaan mereka.
Beberapa hari kemudian, istana Pasir Batang menjadi gempar. Tiba-tiba Putri Purbasari terserang penyakit aneh. Seluruh tubuhnya terasa sangat gatal dan dipenuhi bintik-bintik hitam. Betapa terkejutnya sang Prabu melihat keadaan putri kesayangannya itu. Sudah beberapa tabib istana dipanggil untuk mengobatinya, namun tak seorang pun yang berhasil menyembuhkannya. Sementara itu, Putri Purbararang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia pun menghasut ayahandanya agar Putri Purbasari diasingkan ke tempat yang jauh.
“Ayah! Barangkali inilah akibatnya jika kita tidak menuruti adat hukum yang berlaku di kerajaan ini. Para leluhur telah murka dan mengutuk Putri Purbasari. Jangan-jangan sebentar lagi kerajaan ini juga terkena kutukan!” hasut Putri Purbararang.
Prabu Tapa Agung pun termakan hasutan putrinya. Akhirnya, dengan berat hati, ia memutuskan untuk mengasingkan putri bungsunya ke hutan agar kerajaan terbebas dari kutukan. Putri Purbasari pun menyadari keadaannya dan menerima keputusan itu dengan lapang dada.
Keesokan harinya, sang Prabu menyuruh patihnya yang bernama Uwak Batara Lengser untuk mengantar Putri Purbasari ke hutan. Setelah membuatkan sebuah pondok untuk Putri Purbasari di hutan, patih yang baik hati itu memberi nasehat kepada sang Putri untuk menenangkan hatinya.
“Tabahkan hatimu, Tuan Putri! Cobaan ini pasti akan berakhir. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa senantiasa melindungimu. Paman akan sering datang kemari mengantar makanan dan minuman untukmu,” ujar sang Patih.
“Terima kasih, Paman! Nasehat Paman membuat hati Putri menjadi tenang,” ucap Putri Purbasari.
Sejak itu, Putri Purbasari tinggal seorang diri di tengah hutan. Untuk menghibur dirinya, setiap pagi ia berjalan-jalan di sekitar pondoknya untuk melihat-lihat pemandangan dan bersenda gurau bersama hewan-hewan yang ada di sekitarnya. Tak heran, jika dalam waktu beberapa hari saja, ia sudah mempunyai banyak teman. Hewan-hewan tersebut sangat baik kepadanya. Mereka sering membantu sang Putri untuk mencari buah-buahan di hutan.
Pada suatu hari, ketika sang Putri sedang bersenda gurau bersama hewan-hewan di sekitar pondoknya, tiba-tiba ada sepasang mata yang sedang memerhatikannya tanpa disadarinya. Rupanya, dia adalah seekor lutung (sejenis kera berbulu hitam). Beberapa saat kemudian, lutung itu menghampirinya. Alangkah terkejutnya sang Putri ketika melihat lutung yang berwajah seram itu tiba-tiba berdiri di depannya.
“Ampun, Lutung! Tolong jangan ganggu aku!” teriak Putri Purbasari dengan ketakutan.
“Jangan takut, Tuan Putri! Aku tidak akan mengganggumu,” jawab Lutung itu.
Putri Purbasari pun tersentak kaget, karena lutung itu dapat berbicara seperti manusia.
“Hai, kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Putri Purbasari.
“Aku Guruminda, putra Sunan Ambu dari Kahyangan. Aku telah melakukan kesalahan, sehingga dibuang ke bumi dengan bentuk seperti ini, dan kesasar di tengah hutan ini,” jelas si Lutung.
Mendengar jawaban itu, hati sang Putri pun menjadi tenang. Tanpa banyak tanya, ia tersenyum seraya memperkenalkan diri dan menceritakan asal-usulnya. Karena merasa senasib, yaitu sama-sama terbuang di hutan itu, akhirnya mereka pun berteman. Sejak itu, Purbasari memanggil si lutung dengan panggilan Lutung Kasarung, yang artinya Lutung yang kesasar. Kemana pun sang Putri pergi, Lutung Kasarung selalu menyertainya. Bahkan, ia sering memetik buah-buahan untuk sang Putri.
Pada saat malam bulan purnama, secara diam-diam Lutung Kasarung pergi ke suatu tempat yang sangat sepi untuk bersemedi. Dalam semedinya ia memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar menyembuhkan penyakit Putri Purbasari. Beberapa saat kemudian, doa Lutung Kasarung pun dikabulkan. Tanah di sekitarnya tiba-tiba menjelma menjadi sebuah telaga kecil. Airnya sangat jernih, sejuk, harum, dan mengandung obat kulit yang sangat mujarab. Begitu matahari pagi memancarkan sinarnya di ufuk timur, ia segera menemui Putri Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga itu.
“Hai, Tung!” demikian Putri Purbasari memanggil Lutung Kasarung.
“Untuk apa kamu membawaku kemari?” tanyanya.
“Bercebur dan mandilah di telaga ini, Tuan Putri! Niscaya penyakit Tuan Putri akan sembuh, karena air telaga ini mengandung obat kulit yang sangat mujarab,” ujar Lutung Kasarung.
Tanpa ragu, Putri Purbasari langsung menceburkan diri ke dalam telaga itu. Sungguh ajaib sekali. Tak lama setelah berendam di telaga itu, seluruh bintik-bintik hitam di kulitnya langsung hilang tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Kulitnya kembali bersih, halus dan menjadi cantik seperti semula. Ia sangat heran bercampur gembira mengalami peristiwa ajaib itu.
“Terima kasih, Tung! Engkau telah menyembuhkan penyakitku,” ucap Putri Purbasari dengan perasaan gembira.
Sejak itu, Putri Purbasari semakin senang dan sayang kepada si Lutung Kasarung. Ia pun semakin betah tinggal bersamanya di hutan itu dan hewan-hewan lainnya. Hatinya sudah menyatu dengan kehidupan alam bebas, dan melupakan kehidupan istana yang sering membelenggunya, apalagi dengan keberadaan kakak sulungnya, Purbararang.
Pada suatu hari, Patih Uwak Batara Lengser datang ke hutan itu untuk melihat keadaan Putri Purbasari. Betapa terkejutnya ia ketika melihat penyakit kulit sang Putri telah sembuh. Ia pun kemudian mengajak sang Putri untuk kembali ke istana.
“Ampun, Tuan Putri! Sesuai dengan pesan sang Prabu, Tuan Putri diminta untuk kembali ke istana,” kata Patih itu menyampaikan pesan sang Prabu.
Mulanya, Putri Purbasari menolak untuk kembali ke istana. Namun setelah didesak oleh sang Patih dan dibujuk oleh si Lutung Kasarung, akhirnya ia pun memenuhi ajakan tersebut.
“Baiklah, Paman! Aku bersedia kembali ke istana, tetapi Lutung Kasarung juga harus ikut. Dialah yang telah menyembuhkan penyakitku,” tegas Putri Purbasari.
“Baiklah, Tuan Putri! Paman kira sang Prabu akan merasa senang jika Tuan Putri mengajak Lutung yang baik hati itu ke istana,” kata Patih itu.
Akhirnya, Putri Purbasari bersama Patih Uwak Batara Lengser dan Lutung Kasarung kembali ke istana. Setibanya di istana, mereka disambut gembira oleh seluruh keluarga istana, kecuali Putri Purbararang dan Raden Indrajaya, karena merasa posisi mereka terancam. Menyadari keadaan itu, ia pun membujuk ayahandanya agar mengadakan sayembara.
“Ampun, Ayahanda! Nanda keberatan jika Putri Purbasari yang dinobatkan menjadi Ratu. Biar adil, sebaiknya diadakan sayembara. Pemenangnya akan menerima tampuk kerajaan, sedangkan yang kalah akan menerima hukum pancung,” bujuk Putri Purbararang.
Prabu Tapa Agung yang arif dan bijaksan itu pun mengambulkan permintaan putri sulungnya. Dalam sayembara tersebut, Putri Purbararang menantang Putri Purbasari untuk mengikuti dua perlombaan, yaitu lomba memasak dan lomba panjang rambut. Putri Purbasari pun terpaksa menerima tantangan itu, karena diminta oleh ayahandanya.
“Jangan khawatir, Tuan Putri! Aku akan menolongmu,” bisik Lutung Kasarung.
“Terima kasih, Lutung!” jawab Putri Purbasari.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh rakyat Pasir Batang telah berkumpul di halaman istana ingin menyaksikan sayembara tersebut. Tak berapa lama kemudian, kedua putri Prabu Tapa Agung tersebut memasuki arena lomba. Perlombaan pertama adalah lomba memasak. Yang dinilai dalam lomba ini adalah masakan siapa yang paling cepat disajikan dan lezat rasanya, maka dialah pemenangnya.
Ketika semua bahan-bahan dan perlengkapan memasak telah disiapkan, wasit pun memukul gong sebagai tanda perlombaan dimulai. Putri Purbararang pun segera meracik bumbu-bumbu yang telah disediakan dengan lincahnya. Ia dibantu oleh puluhan pelayan istana, sedangkan Putri Purbasari hanya ditemani oleh Lutung Kasarung. Dalam waktu tidak beberapa lama, Putri Purbararang hampir menyelesaikan masakannya. Putri Purbasari pun mulai panik. Melihat hal itu, Lutung Kasarung segera mengeluarkan kesaktiannya. Ia segera memanggil para bidadari di kayangan agar turun ke bumi untuk membantu Purbasari tanpa diketahui oleh seorang pun. Berkat bantuan para bidadari tersebut, Putri Purbasari mampu menyelesaikan masakannya terlebih dulu dan rasanya pun lebih lezat. Ia pun dinyatakan sebagai pemenang dalam lomba memasak tersebut.
Memasuki perlombaan kedua, yaitu lomba adu panjang rambut, Putri Purbararang merasa tidak mau kalah lagi oleh adiknya. Dengan penuh percaya diri, ia segera melepas sanggulnya. Rambutnya yang hitam dan lebat pun terurai hingga ke pertengahan betisnya.
“Ayo, Purbasari! Lepaslah sanggulmu! Kali ini kamu tidak akan mampu mengalahkanku,” seru Putri Purbararang dengan angkuhnya.
Mendengar seruan itu, Putri Purbasari hanya terdiam sambil menunduk. Dia merasa kurang percaya diri, karena rambutnya hanya sebatas punggungnya.
“Kenapa diam saja, wahai Tuan Putri?” tanya Lutung Kasarung yang berdiri di dekatnya dengan nada pelan.
“Tung! Kali ini aku pasti kalah, rambutku lebih pendek. Hanya sampai di punggungku,” bisik Purbasari.
“Tenang, Tuan Putri! Aku akan memanggil bidadari untuk menyambung rambutmu,” kata Lutung Kasarung.
Sesaat setelah Lutung Kasarung bersemedi, datanglah para bidadari menyambung rambut Purbasari tanpa sepengetahuan Purbararang dan para penonton. Ketika Purbasari melepas sanggulnya, maka terurailah rambutnya yang hitam berkilau, halus bagaikan sutra, serta bergelombang hingga ke tumitnya. Melihat hal itu, Purbararang pun menjadi malu dan merasa terpukul, karena kembali dikalahkan oleh adiknya. Namun, ia tidak kehabisan akal. Ia kembali membujuk ayahandanya agar diadakan satu perlombaan lagi, yaitu lomba ketampanan calon suami atau tunangan masing-masing.
“Jika Purbasari masih mampu mengalahkanku dalam perlombaan ini, maka aku akan menerima kekalahan ini dan bersedia untuk dipancung,” kata Purbararang di hadapan para hadirin.
Mulanya, Prabu Tapa Agung ragu untuk memenuhi keinginan Purbararang, karena Purbasari belum mempunyai tunangan. Jika pun pada saat itu ia ditunangkan dengan siapa pun di negeri itu, tetap tidak seorang pun yang melebihi ketampanan Indrajaya. Meski demikian, Purbasari tetap bersedia mengikuti lomba tersebut dan sang Prabu pun menyetujuinya.
Perlombaan pun dimulai. Dengan bangga, Putri Purbararang kembali masuk ke arena perlombaan sambil menggandeng tangan tunangannya.
“Wahai seluruh rakyat Pasir Batang! Saksikanlah ketampanan dan kegagahan tunanganku, Indrajaya! Akulah yang akan menjadi Ratu negeri ini, karena tak seorang pun yang mampu mengalahkan ketampanan tunanganku ini!” seru Putri Purbararang dengan angkuhnya.
Seluruh hadirin pun mengakui bahwa Indrajaya adalah seorang pemuda yang tampan. Tak seorang pemuda pun di Negeri Pasir Batang yang melebihi ketampanannnya. Mereka sudah memastikan bahwa Putri Purbasari akan kalah dalam perlombaan tersebut. Anehnya lagi, ketika diminta untuk menunjukkan calon suaminya, Putri Purbasari justru menarik tangan Lutung Kasarung masuk ke arena perlombaan.
“Inilah calon suamiku!” seru Putri Purbasari dengan bangga.
“Ya, ini calon suamiku!” serunya sekali lagi.
Purbararang dan suaminya pun tertawa terbahak-bahak melihat tingkah adiknya.
“Hai, Purbasari! Apakah tidak ada lagi calon suami yang lebih jelek dari Lutung itu?” seru Purbararang dengan nada mengejek.
Mendengar ejekan itu, Lutung Kasarung pun menjadi tersinggung dan marah. Ia tidak terima Putri Purbasari dipandang rendah seperti itu. Maka dengan kesaktiannya, ia segera memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, agar bentuknya dikembalikan seperti semula. Seketika itu pula, Lutung Kasarung pun berubah menjadi Guruminda yang sangat tampan dan gagah. Semua yang hadir terperangah dan terpesona melihat ketampanannya.
Akhirnya, Putri Purbasari memenangi sayembara tersebut dan berhak menduduki tahta kerajaan. Sementara Putri Purbararang dan tunangannya harus menerima hukuman pancung atas kekalahan mereka. Namun, Putri Purbasari adalah seorang putri yang pemaaf, ia tidak menghukum kakak kandungnya sendiri. Bahkan, ia tetap mengijinkan kakaknya untuk tetap tinggal di istana bersamanya. Akhirnya, Putri Purbasari pun dinobatkan menjadi Ratu Kerajaan Pasir Batang. Ia adalah seorang Ratu yang arif dan bijaksana, sehingga seluruh rakyatnya senantiasa hidup makmur, damai, dan sentosa.
* * *
Demikian cerita Lutung Kasarung dari Jawa Barat, Indonesia. Cerita di atas merupakan cerita pantun yang mengandung nilai-nilai moral. Setidaknya ada dua nilai moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat buruk dari sifat suka memandang rendah orang lain, dan keutamaan sifat pemaaf dan tidak pendendam. Pertama, sifat suka merendahkan orang lain ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Putri Purbararang. Hal ini terlihat ketika ia menantang Putri Purbasari untuk mengadakan sayembara perebutan tahta kerajaan, karena ia yakin bahwa adik bungsunya itu tidak mampu berbuat apa-apa. Namun, tanpa diduganya, ternyata Purbasari mampu mengalahkannya berkat bantuan Lutung Kasarung. Akibatnya, ia pun mendapat ancaman hukum pancung. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa hendaknya kita tidak memandang rendah orang lain, karena terkadang ada sesuatu yang tidak kita ketahui tentang orang tersebut. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu: