Pegunungan Tengger dan Gunung Argapura. Tanahnya subur, air melimpah, memiliki laut yang kaya ikan dan penduduknya makmur sejahtera. Di bagian utara, tempat paling banyak dihuni penduduk, mengalir sebuah sungai berair jernih. Sungai ini membentang dari selatan ke utara membelah perkampungan penduduk. Muaranya sangat ramai dan digunakan sebagai pelabuhan tempat menaikkan dan menurunkan barang para saudagar. Dari sini barang-barang kemudian diangkut kereta untuk dikirim ke Sadeng atau Keta. Ada juga yang dikirim ke Mataram.
Ke arah tenggara dari pelabuhan ini akan tampak Gunung Argapura yang tinggi menjulang. Bila memandang ke barat daya, gugusan Pegunungan Tengger berdiri kokoh. Di sebelah utara, laut nan biru terhampar luas. Daerah ini memisahkan Kerajaan Majapahit dengan sebuah kadipatennya, Blambangan. Karena berada di perbatasan, daerah ini sering menjadi arena peperangan antara Majapahit dengan kerajaan bawahannya yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Pada saat itu, Blambangan diperintah oleh Adipati Kebo Marcuet yang berambisi meluaskan daerah kekuasaannya. Hal itu merupakan rongrongan terhadap Majapahit. Tugas untuk mengatasi persoalan di wilayah timur tersebut diserahkan kepada Putri Kencanawungu. Peringatan demi peringatan yang disampaikan sang putri tidak diindahkan oleh Adipati Kebo Marcuet. Petinggi Majapahit bingungmenghadapi kebandelan Kebo Marcuet. Mengirim pasukan ke Blambangan saat itu tidaklah mungkin karena pasukan Majapahit dalam kondisi lemah setelah memadamkan beberapa pemberontakan.
Atas saran para rakrian yang merupakan Dharmaputra Winehsuka (semacam dewan penasihat kerajaan, pen.), Kencanawungu mengadakan sayembara. Begini bunyi sayembara itu :
Sedulur-sedulur rakyat Majapahit, barangsiapa di antara kalian berhasil menumpas Kebo Marcuet penguasa Blambangan, akan dinobatkan menjadi raja sebagai wakil Raja Majapahit di Blambangan dan akan dijadikan suami Putri Kencanawungu.
Seorang pemuda gagah bernama Jaka Umbaran tampil mengikuti sayembara itu. Bersenjatakan sebuah gada keemasan yang dikenal dengan Besi Kuning, Jaka Umbaran berhasil membunuh Kebo Marcuet. Namun demikian, akibat bertarung melawan Kebo Marcuet wajah Jaka Umbaran rusak dan kakinya pincang. Jaka Umbaran kemudian dinobatkan sebagai raja Blambangan sebagai wakil raja Majapahit. Iamengubah namanya menjadi Minak Jingga.
Satu hadiah sudah diterima Jaka Umbaran alias Minak Jingga. Ia menagih hadiah kedua, dinikahkan dengan Kencanawungu. Tetapi karena wajah Minak Jingga rusak dan kakinya pincang Putri Majapahit itu tidak bersedia memenuhi janjinya.
Mendengar kabar itu Minak Jingga marah besar. Sikap dan wataknya yang semula lembut berubah menjadi kasar dan brutal. Kehadiran dua orang gadis ningrat asal Bali, Wahita dan Puyengan yang diperistrinya, tidak mampu mengembalikan kelembutan hatinya. Ia pun menyatakan melepaskan diri dari Majapahit sebagaimana Kebo Marcuet.
Saudagar-saudagar dan prajurit Majapahit yang sedang mengunjungi daerah-daerah bawahan seringkali dirampas. Pasukan Blambangan pun dibangun untuk menandingi kekuatan Majapahit. Para penjahat yang dikejar-kejar pasukan keamanan Majapahit diajaknya bergabung menjadi pasukan Blambangan.
Melihat kenyataan ini, kalangan keraton Majapahit kembali bingung. Meminta bantuan atau bergabung dengan pasukan Sadeng dan Keta juga tidak mungkin. Karena menurut kabar pasukan Blambangan juga kuat. Terlebih lagi Kerajaan Majapahit dihantui kekhawatiran pengkhianatan Kerajaan Sadeng dan Keta. Meski dalam sebuah Pasewakan Agung (pertemuan para raja bawahan dengan Raja Majapahit), utusan Sadeng dan Keta menegaskan kesetiaannya terhadap Majapahit. Para Dharmaputra Winehsuka mengingatkan Kencanawungu bagaimana tentang tindakan makar Sadeng dan Keta tiga tahun sepeninggal Prabu Jayanegara.
Tak ingin berlama-lama berpikir, Kencanawungu memutuskan menggunakan cara yang sama ketika menghadapi Kebo Marcuet. Dicarilah ksatria-ksatria pilih tanding di sekitar Istana Majapahit untuk menghadapi Minak Jingga. Akhirnya pilihan jatuh kepada Damarwulan, seorang pemuda abdi Patih Loh Gender yang sehari-hari bertugas mencari rumput. Di balik wajahnya yang tampan ia ternyata seorang pendekar pilih tanding yang memiliki kecerdikan luar biasa. Tak heran, ia menjadi andalan Patih Loh Gender.
“Damarwulan, laksanakanlah titah putri ratu dengan baik. Dengan akal cerdikmu tugas berat ini pasti dapat kau laksanakan”, ucap Patih Loh Gender melihat keraguan di wajah Damarwulan saat mengetahui ia ditugaskan memenggal kepala Minak Jingga.
“Baik Gusti, hamba laksanakan tugas itu meski Minak Jingga bukanlah lawan sembarangan. Dia sakti mandraguna, Gusti Patih…”, sahut Damarwulan yang masih diliputi keraguan.
“Anakku Damarwulan, kehebatan Minak Jingga terletak pada Besi Kuning. Tanpa itu, ia bukan apa-apa. Curilah senjata itu. Menyamar dan bekerjasamalah dengan orang dalam istana”, panjang lebar Patih Loh Gender menjelaskan kelemahan Minak Jingga.
“Sendika Gusti Patih, jika begitu hamba mohon pamit untuk berangkat”, Damarwulan berpamitan sembari mengatupkan kedua telapak tangan dan sedikit membungkuk sebagai tanda hormat seorang abdi.
Patih Loh Gender hanya mengangguk. Namun setelah itu sang patih segera mengutus beberapa prajurit khusus kraton Majapahit untuk mengiringi Damarwulan secara rahasia.. Sang Patih memerintahkan prajurit-prajurit untuk menyamar menghindari sergapan prajurit Blambangan.
Selama dalam perjalanan, kendatipun mengenakan pakaian lusuh, ketampanan wajah Damarwulan banyak menarik perhatian gadis-gadis. Apalagi sikap dan perilakunya yang santun. Tersiarlah ketampanan wajah Damarwulan sampai ke istana Blambangan, tepatnya ke telinga para istri Minak Jingga.
Pada suatu pesta malam purnama, Damarwulan berhasil menemui keduanya. Kelembutan tutur dan ketampanan Damarwulan memikat hati para istri Minak Jingga. Kesempatan itu tidak disia-siakannya untuk semakin mengakrabi Wahita dan Puyengan. Damarwulan berhasil. Ia bebas keluar-masuk istana menemui dua orang bangsawan Bali istri-istri Minak Jingga itu. Hingga pada suatu kesempatan Damarwulan dapat membujuk Wahita dan Puyengan untuk mengambil Besi Kuning, pusaka andalan suaminya.
Prajurit perawat pusaka kerajaan yang bertugas memasuki ruang pusaka segera melapor. Minak Jingga berang saat dilapori hilangnya senjata itu. Istana pun dikepung dan seluruh ruangan digeledah. Beruntung Damarwulan dapat meloloskan diri dengan melompati pagar istana.
Setiba di tempat aman, Damarwulan memasang sebuah Warastra (anak panah) yang sudah diikatkan selembar daun lontar berisi sebuah pesan. Direntangkannya busur itu, dan …. wessss… melesatlah sebuah warastra dan menancap tepat di sebuah tiang istana. Prajurit segera mencabut dan menyerahkan warastra berisi pesan itu kepada Minak Jingga.
Merah padam wajah Minak Jingga membacanya. Segera ia perintahkan prajurit untuk menyiapkan sebuah kuda untuk mengejar Damarwulan. Raja Blambangan bersama prajuritnya bergerak ke arah barat menyisir pesisir utara - menerobos kelebatan Alas Purwo melintasi wilayah Kerajaan Keta, kemudian ke arah Jabung, tempat yang pernah disinggahi Prabu Hayam Wuruk dalam sebuah lawatannya.
Saat di Jabung prajurit Minak Jingga menangkap kelebat gerakan kuda Damarwulan. Mereka semakin bersemangat memacu kuda mengkuti jejak-jejaknya. Di sebuah tempat, kuda Damarwulan meninggalkan jejak berupa bulu kuda yang menempel pada sebuah pohon. Kelak tempat itu dikenal dengan Desa Bulujaran (Bulukuda. Pen).
Sementara itu, Damarwulan telah sampai di sebuah tepi kali. Kudanya ia tambatkan pada sebuah pohonrandu. Karenanya daerah ini disebut Randu Pangger (Randu tempat menambat).
Tidak lama, Minak Jingga dapat menyusul Damarwulan yang berdiri didampingi beberapa prajurit. Pasukan pengiring Minak Jingga langsung menyerang prajurit pendamping Damarwulan. Meskipun prajurit yang bertempur tidak banyak, pertempuran berlangsung seru.
Kali yang beberapa waktu sebelumnya menjadi salah satu arena perang Paregreg kini kembali menjadi medan laga dua pasukan. Denting pedang diiringi teriakan-teriakan, juga jeritan kesakitan prajurit yang terluka menghiasi pertarungan. Kedua pasukan sama-sama kuat. Satu persatu jatuh bergelimpangan. Tak lama kemudian, pasukan yang bertarung habis sama sekali. Semua jatuh bergelimpangan.
“Menyerahlah!!! Barangkali Raja berkenan mengampunimu. Kau tak punya apa-apa lagi. Pasukan habis, demikian juga senjatamu”, lantang Damarwulan menggertak Minak Jingga.
“Apa? Menyerah?… cuih…!!! Pantang bagiku untuk menyerah wahai anak muda”, sahut Minak Jingga dengan mata memerah. Sontak ia keluarkan sebilah pedang dari sarungnya dan melompat tepat ke hadapan Damarwulan.
Damarwulan beringsut sedikit ke belakang. Segera dicabutnya sebuah pedang dari warangkanya. Seolah tidak memberi kesempatan kepada Damarwulan, Minakjingga tiba-tiba menyayunkan pedangnya.
“Ciat….ciat… bedebah kau… anak ingusan”
“Ha..ha…ha… gerakanmu terlalu lamban. Tak perlu melompat menghindari terjanganmu”.
Ejekan Damarwulan memanaskan telinganya. Kembali Minak Jingga melompat dan sekuat tenaga mengayunkan pedangnya ke arah Damarwulan. Anak asuh Patih Loh Gender ini menangkis serangan dengan melintangkan pedangnya. Kedua pedang pun berbenturan keras memercikkan letikan api. Pedang di tangan Minak Jingga nyaris terjatuh. Ia sedikit gugup. Kesempatan itu digunakan Damarwulan untuk menyerang balik. Dan…. bet…bet… pedang Damarwulan berkelebat menyasar kepala Minak Jingga. Tubuh Damarwulan berlompatan sambil terus menyabetkan pedang. Minak Jingga mulai kesulitan mengikuti gerakan Damarwulan dan terdesak. Sebuah tendangan mendarat telak di dada Minak Jingga, membuatnya jatuh terjengkang. Pedangnya terlepas.
“Bagaimana Minak Jingga, belum mau menyerah juga?”, ejek Damarwulan.
Tak ada jawaban. Hanya gemeretak gigi Minak Jingga yang menyiratkan kegeraman. Minak Jingga bangkit dan segera melompat menyerang Damarwulan yang telah siap menyambut serangannya.
“Ciaaaaatttt”, teriakan Minak Jingga mengiringi terjangan ke arah Damarwulan.
Lagi-lagi Damarwulan hanya perlu sedikit menggeser kakinya untuk menghindar sambil mencoba mengait kaki Minak Jingga. Berhasil. Minak Jingga kehilangan keseimbangan, hampir saja ia jatuh ke kali. Tiba-tiba teriakan Damarwulan melengking tinggi diikuti sebuah sabetan yang telak mengenai bagian belakang leher Minak Jingga. Seketika tubuh Minak Jingga limbung, terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh ke kali. Minak Jingga memegangi luka di lehernya yang kian perih terkena air. Sementara darahnya terus mengucur memerahkan air kali di sekitar dia tercebur. Anehnya, seiring merahnya air, tak lama kemudian aroma anyir darah menyeruak di permukaan kali. Aroma tak sedap menyebar ke sekitar kali membuat Damarwulan melangkah menjauhi kali.
Tertatih-tatih Minak Jingga berusaha naik keluar dari kali. Ia tampak lemah sekali. Tenaganya seolah habis terkuras. Dari jarak sepelemparan batu Damarwulan memandanginya.
“Pergilah jauh-jauh kau Minak Jingga. Biarkan rakyat Blambangan tenteram tanpa gangguanmu!” teriak Damarwulan.
Minak Jingga hanya memicingkan mata ke arah Damarwulan. Rasa sakit dan lelah membuatnya tak ingin melanjutkan pertarungan. Dengan langkah terseok-seok ia berjalan ke arah selatan menyusuri sebuah jalan besar. Tak seberapa jauh berjalan, Minak Jingga merasa tidak kuat lagi. Ia pun kemudian berhenti disebuah Pohon Waru yang rindang. Lalu menyandarkan tubuhnya di pohon itu. Tubuhnya makin lemah. Wajahnya pucat pasi.
Mengetahui ada seseorang terluka, beberapa penduduk setempat berdatangan. Mereka bermaksud membantu. Apalagi setelah melihat pakaian Minak Jingga yang mewah, tidak seperti rakyat kebanyakan.
“Apa yang terjadi gerangan Ki Sanak?” tanya seorang penduduk laki-laki setelah duduk di dekat Minak Jingga.
“hhhhh… a..a..aku Minak Jingga… habis bertarung dengan Damarwulan…” sahut Minak Jingga terbata-bata. Mimik wajahnya tampak menahan sakit. “Aku tahu, kedatangan kalian hendak menolongku… tapi tak usahlah.. percuma. D…d…darahku terlalu ba..ba..nyak keluar. Aku hanya berpesan kepada ka…kalian, penduduk s..ssinni, j…j…janganlah kalian bertengkar dan saling melukai. A…a…a…palagi sa..sa.ling b….b..bu..nuh…..” mata Minak Jingga terpejam begitu menyelesaikan kata terkahirnya. Ia meninggal.
Sementara itu Damarwulan kembali ke pohon randu tempat kudanya ditambatkan. Ia bersiap ke arah Matahari terbenam, ke kotaraja Majapahit untuk melapor kepada Kencanawungu.
Demikianlah Asal-usul Kali Banger. Kali berair bening yang sebelumnya tidak berbau, akibat ceceran darah Minak Jingga berubah menjadi berbau anyir atau banger. Maka Kali itu kemudian dikenal sebagi Kali Banger.
Di tempat itu kelak berdiri sebuah pemerintahan Kadipaten bernama Kadipaten Banger. Dalam perkembangan selanjutnya, Adipati Banger yang kedua, Raden Tumenggung Djojonagoro, mengubah nama Kadipaten Banger menjadi Kadipaten Probolinggo. Probolinggo sendiri berarti: Probo = Sinar,
Linggo = tugu, badan, tanda, peringatakan atau tongkat. Secara keseluruhan Probolinggo berarti Sinar yang berbentuk tugu. Kini wilayah ini berada dalam dua pemerintahan, yakni: Kabupaten dan Kota Probolinggo.
Selain menjadi asal-usul nama Kali Banger, peristiwa ini juga menjadi asal-usul daerah di sekitarnya. Di antaranya adalah Desa Bulujaran, Randu Pangger dan Desa Warujinggo. Desa Warujinggo adalah tempat Pohon Waru saat Minak Jingga menyandarkan tubuh dan mengembuskan napas terakhirnya. Konon di Desa Warujinggo ini tidak pernah terjadi peristiwa perkelahian bersenjata, sebagaimana pernah dipesankan oleh Minak Jingga