Selasa, 18 Juni 2013
Calon istri seorang Ikhwan
Seorang teman pernah mengatakan, kriteria calon isterinya: shalihah, cerdas, kaya dan cantik. Sebuah hadist juga mengemukakan, seorang perempuan dipinang karena kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Tapi pinanglah perempuan karena keshalihannya. Itu yang utama. Saya sepakat dengan hadist tersebut. Perempuan yang shalihah, insya Allah cerdas. Ketika seorang perempuan cerdas, harta bisa dicari. Bila harta sudah di tangan, kecantikan bisa dibeli. Pilih satu, dapat tiga.
Namun, bila kita tinjau ulang, pemikiran akan kriteria calon isteri tersebut cenderung egois. Tidak memandang dari banyak sisi. Hanya memandang pernikahan dari segi manfaat untuk diri sendiri. Tidak untuk keluarga, sahabat dan lingkungan sekitar. Padahal menikah adalah penyatuan dua organisasi besar; keluarga, membentuk organisasi baru. Banyak pihak yang bisa terpengaruh dan mempengaruhi pra dan pasca pernikahan.
Jika kita berkaca, mengevaluasi. Melihat, mencari kelebihan dan kekurangan diri. Niscaya kita akan menemukan berbagai fakta; kita juga punya banyak kekurangan. Lalu, pantaskan bersibuk ria dengan segala macam kriteria? Sedang diri sendiri mungkin tak bisa memenuhi segala kriteria impian oleh calon pasangan. Seseorang berharap mendapat perempuan shalihah, namun apakah dia cukup shalih untuk berdampingan dengan perempuan shalihah. Ia ingin perempuan cerdas, tapi apakah ia cukup cerdas untuk mengimbangi kecerdasannya? Ia ingin perempuan berharta, tapi seberapa banyak harta yang dapat dia berikan, untuk ‘membeli’ sang calon dari ayah-bundanya. Dan ketika ia ingin perempuan cantik, apakah ia sendiri cukup gagah, tidak jomplang, saat bersisian dengannya? Tidakkah keinginan si lelaki terlalu berlebih?
Dari kisah cinta para Nabi, sahabat dan para syuhada, ada sejumlah fakta: tangan Allah selalu bermain. Kisah cinta Muhammad-Khadijah, Yusuf-Zulaikha hanyalah sebagian kecil contoh. Keikhlasan menggenapkan separuh agama pasti akan mendapat anugerah luar biasa; seorang isteri penghuni taman surga. Segala hambatan pernikahan hanyut karena ibadah yang khusu, penghambaan yang sangat padaNya. Manusia hanya berusaha, hasilnya terserah pada Yang Kuasa.
Hendaknya seorang lelaki berusaha melihat dari banyak sisi, ketika datang seorang calon isteri padanya. Segala identitas standar bukan pertimbangan utama. Serahkan saja padaNya. Meminta petunjuk lewat shalat istikharah. Apakah perempuan itu orang yang tepat? Apakah si calon pasangan dunia akhirat? Hanya Allah yang tahu, kan?
Lelaki manapun bisa saja berharap: Semoga calon isteri yang datang padaku adalah perempuan shalihah. Bila belum shalihah, haruslah dia mengajak, meningkatkan pemahaman agama, terus memperbaiki diri. Menghiasi rumah tangga dengan amalan wajib dan sunnah. Menggapai sakinah. Semoga perempuan yang datang padaku cerdas. Jika belum cerdas, mestilah dia yang mengajar dan belajar dari pasangannya. Mencari ilmu baru, terutama ilmu rumah tangga. Tentang harta, boleh saja meminta: datangkanlah padaku calon isteri yang berharta. Tetapi ingatlah, harta adalah cobaan, tak banyak orang yang bisa tetap rendah hati, menunduk-nunduk ketika punya harta. Lagipula harta gampang dicari. Soal kecantikan, wajar lelaki normal ingin mendapatkan isteri cantik. Tetapi bukan hanya cantik lahir, batinnya juga harus cantik. Yang menjadi pertanyaan, standar apakah yang akan digunakan untuk menilai seorang perempuan cantik. Standar dunia atau standar surga? Standar dunia menekankan kecantikan maya. Mengandalkan costmetik. Kecantikan abadi, keindahan hingga akhir hayat dan di akhirat kelak, itulah yang seharusnya dicari. Terserah cantik atau tidak kata dunia, yang penting isteri bisa selalu menarik di mata, di hati. Menjadi telaga sejuk, pohon teduh di terik siang. Standar cantik ini sifatnya personal. Orang lain memandang biasa, tapi luar biasa menurut sang suami.
Perempuan manapun yang datang pada seorang lelaki, sudah sepatutnya ia melepas kacamata kekinian. Menggunakan kacamata masa depan dan kacamata banyak orang untuk menilai. Mungkin banyak keindahan calon pasangan yang sengaja disimpan olehNya. Allah ingin mengujinya, apakah dia cukup shaleh, cukup ikhlas, cukup bersabar untuk mendapatkan pasangan sejati.
Pasti ada keraguan saat menimbang. Maka dari itulah perlunya mengetuk nurani sahabat, saudara, kakak, orang tua, mereka yang lebih berpengalaman. Calon suami dapat bertanya, apakah perempuan begini akan begini-begini? Ia bisa minta tepukan tangan di pundak, pelukan, dan untaian mutiara. Agar sang lelaki yakin, mantap. Semoga setelah itu, dia betul-betul siap, menggenapkan separuh agama, mengapai sakinah. Memberatkan bumi dengan generasi yang menjunjung tinggi kalimat La Illa Ha Illallah.
Penulis : Akhi Ivan Al Marbawi (repost:http://www.ikhwanmuslim.or.id)