Alkisah di jaman dahulu kala, di Pulau Majeti ada seorang pertapa bernama Sang Aji Saka, dengan didampingi empat orang sahabatnya yaitu bernama: Dugo, Dora, Prayoga, Sembada. Terdorong oleh keinginan yang membara Sang Aji Saka ingin pergi ke pulau Angejawi (Jawa) dengan diikuti tiga sahabatnya Dugo, Prayoga dan Dora. Sedangkan Sembada ditugaskan di pertapaan menunggu keris pusaka Sang Aji Saka.
Pesan Sang Aji Saka kepada Sembada: sepergi saya ke pulau Jawa, siapapun orangnya tidak boleh mengambil keris pusaka, kecuali Sang Aji Saka sendiri. Dan Sembada teguh memegang pesan dan janji sebagaimana yang diamanatkan oleh Sang Aji Saka. Perjalanan Sang Aji Saka sampai di Pulau Jawa. Pada waktu itu keadaan di pulau Jawa sedang terjadi malapetaka dan huru-hara, karma adanya seorang raja dari negara Medang Kamolan yang berjejuluk Prabu Dewata Cengkar, yang tak henti-hentinya memakan daging manusia laki-laki.
Sehingga kehidupan masyarakat di pulau Jawa semakin gonjang-ganjing, dan masyarakatnya banyak yang mengungsi ke hutan-hutan dan gunung-gunung untuk menyelamatkan jiwa raganya.
Konon perjalanan Sang Aji Saka sampai di Pulau Jawa dan sudah berada di Kerajaan Medang Kamolan dan menginap di rumah seorang janda yang terkenal.
Kala itu Prabu Dewata Cengkar dengan seluruh punggawanya sampai di rumah janda cantik. Dan langsung rumah janda itu didobraknya. Perasaan janda sangat takut bukan kepalang, jangan-jangan sudah tahu kalau Sang Aji Saka menginap di rumahnya akan dimakannya. Kala itu Sang Aji Saka, maju perlahan-lahan dengan tenangnya menemui Prabu Dewata Cengkar dan menyambutnya dengan salam kehormatan. Seketika itu pula Prabu Dewata Cengkar dengan suara gemuruh menyuruhnya Sang Aji Saka untuk pulang ke Pulau Majeti, bila tidak mau pulang akan dimakan hari ini juga. Ternyata Sang Aji Saka tidak mau pulang dan siap menerima untuk dimakan oleh Prabu Dewata Cengkar.
Dengan muram Prabu Dewata Cengkar melihat Aji Saka langsung pulang ke Istana Negara Medang Kamolan, dan para prajurit serta hulubalang segera menangkap Aji Saka untuk dibawa ke Medang Kamolan untuk diproses kematiannya. Sebelum Aji Saka dimakannya, terlebih dahulu diberinya kesempatan, Aji Saka untuk menyampaikan sesuatu, karena Prabu Dewata Cengkar masih menghormati bahwa Aji Saka adalah seorang pertapa. Sang Aji Saka hanya meminta secuil tanah seluas destar (udeng) yang dipakai Aji Saka.
Jawab Sang Prabu dengan kerasnya: “Untuk apa secuil tanah tersebut?”. Jawab Aji Saka: “Akan dibuatnya lobang, yang nantinya untuk menimbun tulang-tulang yang tersisa” . Permintaan Aji Saka, tanah yang seluas destar itu harus berada di halaman alun-alun kerajaan yang berdekatan dengan pesisir lautan.
Keesokan harinya sekitar pukul 06.00 diadakan upacara kehormatan atas terkabulnya permintaan Aji Saka. Kala itu Aji Saka melepas destarnya dan diletakkan di halaman alun-alun, sedangkan Prabu Dewata Cengkar tidak boleh menyentuh destar tersebut. Aneh dan ajaibnya setelah destar diletakkan di alun-alun, destar tersebut semakin meluas dan melebar dan semakin berkembang. Apa yang hendak dikata, melebar dan meluasnya ‘Destar/Udengnya Sang Aji Saka’, Prabu Dewata Cengkar semakin terdesak oleh destar tersebut, sehingga seluruh tubuh Prabu Dewata Cengkar tercebur ke dalam samudra selatan atau Segara Kidul. Eloknya keadaan tubuh sang prabu dewata cengkar berubah menjadi “Seekor Buaya Putih”, orang jawa menyebut “Bajul Putih”, dan menyatu dengan buaya-buaya putih yang jumlahnya ribuan. Dan Buaya Putih Prabu Dewata Cengkar diangkat menjadi rajanya.
Dulu menjadi raja manusia, sekarang menjadi raja buaya, kala itu Sang Aji Saka hanya termenung melihat kejadian alam di dalam samudra kidul. Sewaktu Sang Aji Saka berjalan-jalan dipinggir pantai segara kidul di sebelah alun-alun Kerajaan Medang Kamolan, tanpa ada tanda-tanda, menyeranglah Bajul Putih dengan dahsyatnya dan terjadilah peperangan hebat dengan Aji Saka.
Bajul Putih merasa tidak dapat mengimbangi kekuatan sang Aji Saka, segera seluruh bajul putih yang ribuan jumlahnya untuk mengeroyok Sang Saka. Seluruh buaya dapat dikalahkan dengan sekejap, yang masih hidup karena ketakutan banyak yang masuk ke dalam samudra kembali. Buaya-buaya putih yang sudah berbangkai ditumpuk sepanjang pantai dan diberinya nama Gunung Kapur Selatan. Kemenangan Sang Aji Saka menjadi kebanggaan seluruh rakyat Medang Kamolan, rakyat yang dulu takut dan sedih kini menjadi gembira dan merasa aman. Rakyat yang berlindung di hutan-hutan dan di gunung-gunung kini pulang ke kampung halamannya dan bertemu dengan sanak keluarganya. Dan Sang Aji Saka dinobatkan menjadi raja di Negara Medang Kamolan.
Gelar yang diberikan adalah “SANG MAHA PRABU AJI SAKA” Prabu Aji Saka memerintah dengan arif bijaksana, hambeg para amarta, dilengkapi dengan sabda pandita raja dan teguh memegang pusaraning keadilan. Damailah rakyat Medang Kamolan. Tepat pada hari Respati manis Sang Prabu Aji Saka menggelar Pasewakan agung yang dihadiri lengkap para menteri bupati dan brahmana serta senapati perang kerajaan Medang Kamolan. Tak ketinggalan pula sahabat kinasihnya yaitu Duga, Prayoga, dan Dora. Setelah memberikan ajaran-ajaran dan petunjuk kesegenap yang hadir di Pasewakan, Sang Prabu Aji Saka memerintahkan kepada Dora untuk berangkat ke Majeti untuk mengambil keris pusaka di pertapaan untuk dibawa pulang ke Medang Kamolan sebagai pusaka kerajaan. Tanpa meniawab sepatahpun, Dora mohon pamit dan langsung berangkat ke Majeti untuk menemui sahabatnya Sembada.
Sesampainya di pulau Majeti, Dora bertemu dengan Sembada yang sudah sudah lama berpisah dan kala itu juga saling melepas rasa kerinduannya. Selanjutnya Dora menyampaikan seluruh pesan Sang Prabu Aji Saka tanpa ada yang tertinggal, terutama tentang tugasnya untuk mengambil keris di pertapaan. Sembada merasa kaget mendengar keris akan diambil oleh Dora karena sepengetahuannya Sang Aji Saka sendirilah yang akan mengambil keris tersebut. Maka bersikukuhlah Sembada tidak akan memberikan keris kepada Dora. Terjadilah pertengkaran mulut diantara keduanya dan berlanjut pada pertempuran fisik. Akhirnya mereka berdua mati bersama dalam pertempuran sengit tersebut. Kematian ini oleh orang jawa disebut sebagai “‘mati sampyuh “.
Suasana alam perti berkabung, matahari tidak mengeluarkan sinar dibarengi dengan hujan gerimis kecil putih-putih. Kala itu juga Sang Aji Saka keluar dari istana, menatap langit, samodra kidul dan memanggil para brahmana untuk bersantiaji Keprabon. Di malam harinya Sang Prabu Aji Saka mendapat ilham Ha, Na, Ca, Ra, Da, Ta, Sa, Wa, La, Pa, Dha, Ja, Va, Nya, Ma, Ga, Ba, Tha, Nga, Sampai sekarang di jaman modern seperti sekarang ini, kita orang Jawa harus selalu berfilsafat dengan ajaran: Ha, Na, Ca, Ra, Ka, dst … yang berarti, apakah yang kita ketahui tentang Ha,Na,Ca … dst sebagai konsep atau idea ajaran kearifan orang jawa yang bersumber dari karya susastra jawa yang berlandaskan dengan keluhuran Cipta, Rasa, Karsa, Budi, Karya yang menjelma kedalam konsep pakarti berketahanan “Budaya Bangsa”. Sehingga orang suku Jawa yang rnenyebar di seluruh pelosok tanah air jangan sampai meninggalkan warisan leluhurnya.
Setelah sang prabu membeberkan tentang ilham tersebut ke seluruh yang hadir di pasewakan, sang maha prabu mengajak seluruh punggawa kerajaan untuk berinkognito (turba) atau turun ke desa-desa. Dengan warna baru sang prabu melihat kerajaan Mendang Kamolan yang ternyata keadaan negaranya “panjang punjung, pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, karta tata tur raharja”. Matahari terus bergulir menuju kodrati-Nya hari semakin sore, setelah istirahat sejenak, di kala itu segera Sang Prabu Aji Saka memerintahkan ke segenap yang ada di situasi itu untuk membuat tenda-tenda alami (bivoac) yang terbuat dari daun-daun, dan dari kayu yang alami untuk beristirahat untuk persiapan tenaga di esok harinya. Saat para hulubalang beristirahat total, di sore harinya Sang Prabu Aji Saka berkelana seorang diri sambil menikmati udara sore menatap cakrawala yang terselubung mendung tipis serta ditutupi kabut gerimis seperti salju semakin meresap ke sumsum tulang.
Sambil menikmati keindahan alam di Negara Medang Kamolan sampailah posisi Sang Prabu Aji Saka di desa yang paling terpencil hampir berdekatan di pinggir hutan, sayup-sayup terdengar lantunan lesung yang jumengglung yang kadang kala diiringi bertenggernya ayam jantan. Hati Sang Prabu semakin penasaran ingin mencari dimana tempat suara itu berada. Ternyata dilihatnya bahwa lesung itu ternyata seorang wanita cantik sedang menumbuk padi di gubuk belakang rumahnya, yang didampingi seekor ayam jantan. Sang Prabu Aji Saka semakin mendekat dan diintainya wanita penumbuk padi itu dari sela-sela lobang dinding bambu yang sudah setengah reot itu.
Dengan asyiknya wanita cantik itu menumbuk padi dan secara diam-diam Sang Prabhu Aji Saka melihat dan mengamati dari dekat wanita tersebut dan ternyata wanita ini memiliki kecantikan yang luar biasa bagaikan dewi dari kahyangan. Begitu sang Prabhu Aji Saka melihat kecantikan wanita ini, maka munculah perasaan cinta yang tidak bisa tertahankan, dan pada akhirnya secara tidak sengaja Sang Prabhu Aji Saka mengeluarkan cairan dari tubuhnya yang membasahi tanah setempat.
Sang Prabu Aji Saka perlahan-lahan beranjak dari tempatnya berada, sambil melangkah dengan perasaan berat untuk meninggalkan tempat itu, kemudian sang prabu memberi kode aji saka yang digoreskan pada dinding bambu. Dan meninggalkan tempat tersebut, sebagai kenangan tempat wanita cantik yang menumbuk padi.
Sepeninggal Sang Aji Saka dari tempat itu, wanita cantik penumbuk padi tidak mengetahui kejadian di lingkungan lesung tersebut, kecuali si ayam jagonya yang menggodanya, maka dipukullah ayam jago itu dengan tangkai padi oleh sang prabu, sambil melompat setengah terbang si ayam jago bersuara keeoooook, jatuh tepat di tempat Sang Prabhu Aji Saka sewaktu mengintip wanita cantik penumbuk padi. Anehnya si ayam jago melihat sebutir putih seperti beras itu lalu dipatuknya kemudian ditelannya dan kembali lagi ke lesung.
Dan disaat yang bersamaan wanita cantik ini berkemas-kemas akan meninggalkan tempatnya menumbuk padi. Sang putri masuk ke rumahnya dan langsung menuju ke pedharingan/genthong tempat menyimpan beras, setelah selesai pergilah sang putri ke sumur untuk mandi, dan kala itu bersamaan si ayam jago masuk ke dalam kandang, memang waktu itu hari sudah masuk ke saat senja menjelang malam.
Matahari sudah masuk ke cakrawala dan malam telah mengganti suasana waktu. Dengan bergesernya waktu, kala semakin malam sang putri mulai tidur, namun tidak dapat memejamkan mata (tidur-tidur ayam) entah apa yang terjadi sepertinya ada sesuatu yang tidak dapat diterjemahkan. Semakin gaduh perasaan sang putri terdengarlah bertenggernya si ayam jago yang melengkapi semakin risaunya emosi sang putri. Si ayam jago semakin berulang-ulang bertengger dan terdengarlah bertenggernya si ayam jago dengan suara ngungkung lenturan panjang sepertinya dengan disertai seluruh tenaganya.
Dengan perasaan semakin gusar bangunlah sang putri dari tempat tidurnya dan keluar mengambil segenggam daun kelapa kering dan disulutnya ujung daun kelapa itu. Perlahan sang putri menuju kandang ayam jagonya, ternyata si jago tidak lagi berada pada tempat pagakan/pangkringannya tetapi berada di tanah dengan keadaan “Ndekem”. Terkejut hati sang putri lalu di ambilnya si ayam jago dan diletakkan di pagakan tempat tidurnya. Anehnya selesainya sang putri meletakkan kembali si jago ke pagakan, ternyata tempat ndekemnya si ayam jago tadi ada sebutir telur putih besar lonjong sebesar telur angsa.
Dengan hati senang campur iba, aneh tapi nyata. Unik dan menarik dibawanva telur pulang dan dimasukkan ke dalam genthong tempat menyimpan beras. Tujuh hari kemudian, saat sang putri mengambil beras untuk ditanak, tangan sang putri menyentuh sesuatu dan sang putri tanpa rasa takut sama sekali, malah dibelai dengan mesranya. Dengan perasaan iba sang putri melihatnya, ternyata seekor ular sowo kembang yang berbau wangi, dengan rasa cinta diambilnya ular itu di pinang dan dibawa ke tempat tidurnya. Sang putripun tidak jadi untuk menanak nasi, seolah sudah merasa kenyang. Di manja, dipeluk, dan diciumnya, si sowo kembang dengan tak henti-hentinya seolah seperti sang bayi yang baru lahir dari kandungan sang putri.
Di pagi hari si sowo kembang, ingin keluar untuk melihat suasana dan diikuti oleh sang putri sebagai pengganti ibunya. Sampailah sowo kembang di tempat lesung dan bermain-main seolah-olah ada sesuatu bagi dirinya. Kala itu sowo kembang tidak mau pindah dari dinding reot, dan di tempat itulah si sowo kembang dapat berbicara layaknya manusia, dan bertanyalah si sowo kembang kepada sang putri. Semula mau melontarkan pertanyaan ini agak termangu-mangu, tetapi terdorong rasa yang kuat akhirnya terlontarlah sebuah pertanyaan dengan nada yang datar, “Sang putri, siapakah sebenarnya ayahku ini?”. Dengan menoleh ke dinding reot itu sang putri menjawab, wahai ular sawo kembang yang perkasa, ayahmu adalah seorang pertapa agung, di gunung urung-urung yang bernama AJI SAKA, yang sebenarnya petapa dan juga adalah seorang raja. Dengan tanpa dipikir panjang si sowo kembang langsung mohon doa restu untuk menuju ke gunung urung-urung seketika di lingkungan pertapaan berbau wangi, dan terkejut hati sang Aji Saka.
Dengan tanpa menunggu waktu lama datanglah si sowo kembang menghadap sang maha muni, dengan menghaturkan sembah sungkem, bersamaan itu pula keluarlah suara bernada geram Sang Aji Saka, “Siapakah kamu ini?”. Jawab Sowo Kembang: “Saya diperintah oleh ibu penumbuk padi untuk datang kesini, sebab sang pertapa adalah ayahku”. Mendengar putri penumbuk padi terkejutlah sang Aji Saka dan teringat terhadap peristiwa lamanya. Jadi kedatanganmu kesini sebenarnya mau apa? Kedatangan saya kesini adalah:
Potongan lidah Naga Baru Klinthing melesat ke angkasa dan suara alam mengiringi dengan tanda gaib yang mengerikan. Naga Baru Klinthing setelah terpenggal lidahnya, tubuhnya bergerak di dalam tanah di sekitar gunung urung-urung yang akhirnya tanah menjadi gundhukan (bukit kecil) dan langsung di malam itu diiringi oleh suara halilintar serta kilat thathit yang mengerikan, bersamaan suara guruh di angkasa yang mencekam, dari jauh suara gelombang tsunami samudra yang seolah menggulung jagad. Sirepnya suara alam yang mengerikan tadi, hadirlah “MANUSIA BAJANG” , (jawa bocah bajang, bocah kerdil) akan berkelana di sekitar desa.
Konon masyarakat desa tersebut akan merayakan hari bersih dusun, dan beramai-ramailah masyarakat dusun untuk membersihkan halaman rumah dan lorong-lorong jalan, serta lingkungan gundhukan tanah yang dekat dengan jalan itupun diratakan agar tidak menutupi jalan. Saat seorang pekerja yang menebang kayu di sekitar gunung urung-urung, memecok akar kayu keluarlah darah yang memancar, dan terkejutlah orang-orang di dekatnya. Kala itu membuat penasaran seluruh orang-orang yang bekerja gotong royong tersebut. Dan dibongkarlah seluruh gundhukan tanah yang melingkar, ternyata daging binatang besar.
Tidak berpikir panjang di potong-potonglah daging tersebut untuk dibawa ke rumah masing-masing persiapan untuk pesta di hari bersih dusun. Masyarakat sangat senang hatinya karena diacara bersih dusun kali ini, lauk pauknya dengan serentak menggunakan daging. Di saat masyarakat memasak daging didatangi oleh manusia bajang, dari rumah ke rumah, yang dengan sengaja meminta makan lengkap dengan lauk pauknya. Ternyata tidak satu keluargapun yang mau memberi makan kepada si bocah bajang tersebut, bahkan diusirnya. Berjalan dengan tenanglah bocah bajang dari rumah ke rumah, dan sampailah ke rumah yang berada di sudut desa terpencil tepatnya di pinggir desa di sela-sela hutan kecil dan rawa-rawa. Dialah si janda tua renta, dalam gubuk kecil yang rajin dan bersih dipagari dengan bunga-bunga indah juga terhiasi oleh kukusnya dupa sesaji. Janda tua sedang memasak daging yang nantinya akan dibawa untuk bersih dusun, datanglah bocah bajang meminta makan lengkap dengan lauk pauknya.
Dengan lahapnya nasi dihabiskan, tak sepotong dagingpun ada yang dimakannya, dan ditinggalkan di dalam piring sambil berpesan, bersiap-siaplah sang nenek dengan enthong yang bertangkai panjang serta lesung yang nanti akan besar manfaatnya. Bersama kata akhir itu menghilanglah si bocah bajang tersebut. Si nenek tua merenung sebentar, sebenarnya si nenek adalah wanita ahli bersemedi, langsung mohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberinya perlindungan. Di waktu itu malam sudah berlalu, di pagi harinya seluruh masyarakat mulai berkumpul di balai dusun untuk melaksanakan upacara bersih dusun, lengkap dengan sesaji, makanan serta pauk pauknya.
Dikala ujub kenduri sedang berlangsung, datanglah si bocah bajang dengan suara lantang “Hentikan dulu ujub kenduri ini”, sebab akan diberinya sebuah sayembara untuk memeriahkan acara bersih dusun tersebut. Sayembaranya adalah: “barang siapa yang dapat mencabut lidi yang saya tancapkan di halaman balai dusun ini, saya bersedia untuk dipotong-potong badannya, tetapi bila tidak dapat mencabutnya seluruh masakan daging ini akan saya rampas semua tanpa terkecuali”.
Masyarakat yang sedang melaksanakan kenduri bersih dusun menjadi berang dan marah mendengar sayembara si bocah bajang tersebut. Keluarlah seluruh masyarakat yang sedang berpesta pora ke halaman balai dusun, dan melingkari si bocah bajang berusaha untuk mencabut lidi yang ditancapkannya. Setelah satu persatu mencabut, tak ada yang berhasil juga. Akhirnya berkelompoklah masyarakat untuk mencabut lidi yang tertancab. namun hasilnya pun sia-sia. Dengan serentak masyarakat menyuruhnya si bocah bajang untuk segera mencabut lidi yang tertancap. Perasaan haru bercampur gundah, dengan tangan kirinya lidi itu dipegangnya. Wajah menatap ke langit, sambil mengucap doa pelan-pelan lidi itu dicabutnya. Tercabutlah lidi itu, dan seketika keluarlah sumber air yang jernih mengalir kearah barat. Seluruh masyarakat menjadi malu hati, karena melihat berhasilnya si bocah bajang mencabut lidi itu. Akhirnya dikeroyoklah bocah bajang, dan larilah perlahan meninggalkan halaman balai dusun. Semakin dikeroyok semakin banjir pula sumber air tersebut. Dengan banjirnya air dari sumber mata air yang ajaib ini, seolah “BANJIR BANDANG, DAN BANYAK MANUSIA YANG TENGGELAM”, menjadi korban, yang masih hidup berteriak minta tolong. Kala itu pula si bocah bajang menghilang dari permukaan, dan akan rnenyatu dengan lidah Naga Baru Klinthing yang melesat ke angkasa, bersama itu pula hilangnya lauk pauk entah kemana. Hanya janda tua yang tempo hari memberi makan kepada si bocah bajang yang selamat karena menuruti pesannya untuk naik lesung dengan berdayung enthong sambil menanti surutnya air bah.
Ternyata setelah air banjir surut lesung berhenti di sebelah sumber mata air, dan si nenek tua menamakan sumber mata air tersebut “SUMBER BARU KLINTHING” dan terkenal sampai sekarang legendanya di Dusun Bunut, Desa Bringin, Kecamatan Pare Kabupaten Kediri.
Pesan Sang Aji Saka kepada Sembada: sepergi saya ke pulau Jawa, siapapun orangnya tidak boleh mengambil keris pusaka, kecuali Sang Aji Saka sendiri. Dan Sembada teguh memegang pesan dan janji sebagaimana yang diamanatkan oleh Sang Aji Saka. Perjalanan Sang Aji Saka sampai di Pulau Jawa. Pada waktu itu keadaan di pulau Jawa sedang terjadi malapetaka dan huru-hara, karma adanya seorang raja dari negara Medang Kamolan yang berjejuluk Prabu Dewata Cengkar, yang tak henti-hentinya memakan daging manusia laki-laki.
Sehingga kehidupan masyarakat di pulau Jawa semakin gonjang-ganjing, dan masyarakatnya banyak yang mengungsi ke hutan-hutan dan gunung-gunung untuk menyelamatkan jiwa raganya.
Konon perjalanan Sang Aji Saka sampai di Pulau Jawa dan sudah berada di Kerajaan Medang Kamolan dan menginap di rumah seorang janda yang terkenal.
Kala itu Prabu Dewata Cengkar dengan seluruh punggawanya sampai di rumah janda cantik. Dan langsung rumah janda itu didobraknya. Perasaan janda sangat takut bukan kepalang, jangan-jangan sudah tahu kalau Sang Aji Saka menginap di rumahnya akan dimakannya. Kala itu Sang Aji Saka, maju perlahan-lahan dengan tenangnya menemui Prabu Dewata Cengkar dan menyambutnya dengan salam kehormatan. Seketika itu pula Prabu Dewata Cengkar dengan suara gemuruh menyuruhnya Sang Aji Saka untuk pulang ke Pulau Majeti, bila tidak mau pulang akan dimakan hari ini juga. Ternyata Sang Aji Saka tidak mau pulang dan siap menerima untuk dimakan oleh Prabu Dewata Cengkar.
Dengan muram Prabu Dewata Cengkar melihat Aji Saka langsung pulang ke Istana Negara Medang Kamolan, dan para prajurit serta hulubalang segera menangkap Aji Saka untuk dibawa ke Medang Kamolan untuk diproses kematiannya. Sebelum Aji Saka dimakannya, terlebih dahulu diberinya kesempatan, Aji Saka untuk menyampaikan sesuatu, karena Prabu Dewata Cengkar masih menghormati bahwa Aji Saka adalah seorang pertapa. Sang Aji Saka hanya meminta secuil tanah seluas destar (udeng) yang dipakai Aji Saka.
Jawab Sang Prabu dengan kerasnya: “Untuk apa secuil tanah tersebut?”. Jawab Aji Saka: “Akan dibuatnya lobang, yang nantinya untuk menimbun tulang-tulang yang tersisa” . Permintaan Aji Saka, tanah yang seluas destar itu harus berada di halaman alun-alun kerajaan yang berdekatan dengan pesisir lautan.
Keesokan harinya sekitar pukul 06.00 diadakan upacara kehormatan atas terkabulnya permintaan Aji Saka. Kala itu Aji Saka melepas destarnya dan diletakkan di halaman alun-alun, sedangkan Prabu Dewata Cengkar tidak boleh menyentuh destar tersebut. Aneh dan ajaibnya setelah destar diletakkan di alun-alun, destar tersebut semakin meluas dan melebar dan semakin berkembang. Apa yang hendak dikata, melebar dan meluasnya ‘Destar/Udengnya Sang Aji Saka’, Prabu Dewata Cengkar semakin terdesak oleh destar tersebut, sehingga seluruh tubuh Prabu Dewata Cengkar tercebur ke dalam samudra selatan atau Segara Kidul. Eloknya keadaan tubuh sang prabu dewata cengkar berubah menjadi “Seekor Buaya Putih”, orang jawa menyebut “Bajul Putih”, dan menyatu dengan buaya-buaya putih yang jumlahnya ribuan. Dan Buaya Putih Prabu Dewata Cengkar diangkat menjadi rajanya.
Dulu menjadi raja manusia, sekarang menjadi raja buaya, kala itu Sang Aji Saka hanya termenung melihat kejadian alam di dalam samudra kidul. Sewaktu Sang Aji Saka berjalan-jalan dipinggir pantai segara kidul di sebelah alun-alun Kerajaan Medang Kamolan, tanpa ada tanda-tanda, menyeranglah Bajul Putih dengan dahsyatnya dan terjadilah peperangan hebat dengan Aji Saka.
Bajul Putih merasa tidak dapat mengimbangi kekuatan sang Aji Saka, segera seluruh bajul putih yang ribuan jumlahnya untuk mengeroyok Sang Saka. Seluruh buaya dapat dikalahkan dengan sekejap, yang masih hidup karena ketakutan banyak yang masuk ke dalam samudra kembali. Buaya-buaya putih yang sudah berbangkai ditumpuk sepanjang pantai dan diberinya nama Gunung Kapur Selatan. Kemenangan Sang Aji Saka menjadi kebanggaan seluruh rakyat Medang Kamolan, rakyat yang dulu takut dan sedih kini menjadi gembira dan merasa aman. Rakyat yang berlindung di hutan-hutan dan di gunung-gunung kini pulang ke kampung halamannya dan bertemu dengan sanak keluarganya. Dan Sang Aji Saka dinobatkan menjadi raja di Negara Medang Kamolan.
Gelar yang diberikan adalah “SANG MAHA PRABU AJI SAKA” Prabu Aji Saka memerintah dengan arif bijaksana, hambeg para amarta, dilengkapi dengan sabda pandita raja dan teguh memegang pusaraning keadilan. Damailah rakyat Medang Kamolan. Tepat pada hari Respati manis Sang Prabu Aji Saka menggelar Pasewakan agung yang dihadiri lengkap para menteri bupati dan brahmana serta senapati perang kerajaan Medang Kamolan. Tak ketinggalan pula sahabat kinasihnya yaitu Duga, Prayoga, dan Dora. Setelah memberikan ajaran-ajaran dan petunjuk kesegenap yang hadir di Pasewakan, Sang Prabu Aji Saka memerintahkan kepada Dora untuk berangkat ke Majeti untuk mengambil keris pusaka di pertapaan untuk dibawa pulang ke Medang Kamolan sebagai pusaka kerajaan. Tanpa meniawab sepatahpun, Dora mohon pamit dan langsung berangkat ke Majeti untuk menemui sahabatnya Sembada.
Sesampainya di pulau Majeti, Dora bertemu dengan Sembada yang sudah sudah lama berpisah dan kala itu juga saling melepas rasa kerinduannya. Selanjutnya Dora menyampaikan seluruh pesan Sang Prabu Aji Saka tanpa ada yang tertinggal, terutama tentang tugasnya untuk mengambil keris di pertapaan. Sembada merasa kaget mendengar keris akan diambil oleh Dora karena sepengetahuannya Sang Aji Saka sendirilah yang akan mengambil keris tersebut. Maka bersikukuhlah Sembada tidak akan memberikan keris kepada Dora. Terjadilah pertengkaran mulut diantara keduanya dan berlanjut pada pertempuran fisik. Akhirnya mereka berdua mati bersama dalam pertempuran sengit tersebut. Kematian ini oleh orang jawa disebut sebagai “‘mati sampyuh “.
Suasana alam perti berkabung, matahari tidak mengeluarkan sinar dibarengi dengan hujan gerimis kecil putih-putih. Kala itu juga Sang Aji Saka keluar dari istana, menatap langit, samodra kidul dan memanggil para brahmana untuk bersantiaji Keprabon. Di malam harinya Sang Prabu Aji Saka mendapat ilham Ha, Na, Ca, Ra, Da, Ta, Sa, Wa, La, Pa, Dha, Ja, Va, Nya, Ma, Ga, Ba, Tha, Nga, Sampai sekarang di jaman modern seperti sekarang ini, kita orang Jawa harus selalu berfilsafat dengan ajaran: Ha, Na, Ca, Ra, Ka, dst … yang berarti, apakah yang kita ketahui tentang Ha,Na,Ca … dst sebagai konsep atau idea ajaran kearifan orang jawa yang bersumber dari karya susastra jawa yang berlandaskan dengan keluhuran Cipta, Rasa, Karsa, Budi, Karya yang menjelma kedalam konsep pakarti berketahanan “Budaya Bangsa”. Sehingga orang suku Jawa yang rnenyebar di seluruh pelosok tanah air jangan sampai meninggalkan warisan leluhurnya.
Setelah sang prabu membeberkan tentang ilham tersebut ke seluruh yang hadir di pasewakan, sang maha prabu mengajak seluruh punggawa kerajaan untuk berinkognito (turba) atau turun ke desa-desa. Dengan warna baru sang prabu melihat kerajaan Mendang Kamolan yang ternyata keadaan negaranya “panjang punjung, pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, karta tata tur raharja”. Matahari terus bergulir menuju kodrati-Nya hari semakin sore, setelah istirahat sejenak, di kala itu segera Sang Prabu Aji Saka memerintahkan ke segenap yang ada di situasi itu untuk membuat tenda-tenda alami (bivoac) yang terbuat dari daun-daun, dan dari kayu yang alami untuk beristirahat untuk persiapan tenaga di esok harinya. Saat para hulubalang beristirahat total, di sore harinya Sang Prabu Aji Saka berkelana seorang diri sambil menikmati udara sore menatap cakrawala yang terselubung mendung tipis serta ditutupi kabut gerimis seperti salju semakin meresap ke sumsum tulang.
Sambil menikmati keindahan alam di Negara Medang Kamolan sampailah posisi Sang Prabu Aji Saka di desa yang paling terpencil hampir berdekatan di pinggir hutan, sayup-sayup terdengar lantunan lesung yang jumengglung yang kadang kala diiringi bertenggernya ayam jantan. Hati Sang Prabu semakin penasaran ingin mencari dimana tempat suara itu berada. Ternyata dilihatnya bahwa lesung itu ternyata seorang wanita cantik sedang menumbuk padi di gubuk belakang rumahnya, yang didampingi seekor ayam jantan. Sang Prabu Aji Saka semakin mendekat dan diintainya wanita penumbuk padi itu dari sela-sela lobang dinding bambu yang sudah setengah reot itu.
Dengan asyiknya wanita cantik itu menumbuk padi dan secara diam-diam Sang Prabhu Aji Saka melihat dan mengamati dari dekat wanita tersebut dan ternyata wanita ini memiliki kecantikan yang luar biasa bagaikan dewi dari kahyangan. Begitu sang Prabhu Aji Saka melihat kecantikan wanita ini, maka munculah perasaan cinta yang tidak bisa tertahankan, dan pada akhirnya secara tidak sengaja Sang Prabhu Aji Saka mengeluarkan cairan dari tubuhnya yang membasahi tanah setempat.
Sang Prabu Aji Saka perlahan-lahan beranjak dari tempatnya berada, sambil melangkah dengan perasaan berat untuk meninggalkan tempat itu, kemudian sang prabu memberi kode aji saka yang digoreskan pada dinding bambu. Dan meninggalkan tempat tersebut, sebagai kenangan tempat wanita cantik yang menumbuk padi.
Sepeninggal Sang Aji Saka dari tempat itu, wanita cantik penumbuk padi tidak mengetahui kejadian di lingkungan lesung tersebut, kecuali si ayam jagonya yang menggodanya, maka dipukullah ayam jago itu dengan tangkai padi oleh sang prabu, sambil melompat setengah terbang si ayam jago bersuara keeoooook, jatuh tepat di tempat Sang Prabhu Aji Saka sewaktu mengintip wanita cantik penumbuk padi. Anehnya si ayam jago melihat sebutir putih seperti beras itu lalu dipatuknya kemudian ditelannya dan kembali lagi ke lesung.
Dan disaat yang bersamaan wanita cantik ini berkemas-kemas akan meninggalkan tempatnya menumbuk padi. Sang putri masuk ke rumahnya dan langsung menuju ke pedharingan/genthong tempat menyimpan beras, setelah selesai pergilah sang putri ke sumur untuk mandi, dan kala itu bersamaan si ayam jago masuk ke dalam kandang, memang waktu itu hari sudah masuk ke saat senja menjelang malam.
Matahari sudah masuk ke cakrawala dan malam telah mengganti suasana waktu. Dengan bergesernya waktu, kala semakin malam sang putri mulai tidur, namun tidak dapat memejamkan mata (tidur-tidur ayam) entah apa yang terjadi sepertinya ada sesuatu yang tidak dapat diterjemahkan. Semakin gaduh perasaan sang putri terdengarlah bertenggernya si ayam jago yang melengkapi semakin risaunya emosi sang putri. Si ayam jago semakin berulang-ulang bertengger dan terdengarlah bertenggernya si ayam jago dengan suara ngungkung lenturan panjang sepertinya dengan disertai seluruh tenaganya.
Dengan perasaan semakin gusar bangunlah sang putri dari tempat tidurnya dan keluar mengambil segenggam daun kelapa kering dan disulutnya ujung daun kelapa itu. Perlahan sang putri menuju kandang ayam jagonya, ternyata si jago tidak lagi berada pada tempat pagakan/pangkringannya tetapi berada di tanah dengan keadaan “Ndekem”. Terkejut hati sang putri lalu di ambilnya si ayam jago dan diletakkan di pagakan tempat tidurnya. Anehnya selesainya sang putri meletakkan kembali si jago ke pagakan, ternyata tempat ndekemnya si ayam jago tadi ada sebutir telur putih besar lonjong sebesar telur angsa.
Dengan hati senang campur iba, aneh tapi nyata. Unik dan menarik dibawanva telur pulang dan dimasukkan ke dalam genthong tempat menyimpan beras. Tujuh hari kemudian, saat sang putri mengambil beras untuk ditanak, tangan sang putri menyentuh sesuatu dan sang putri tanpa rasa takut sama sekali, malah dibelai dengan mesranya. Dengan perasaan iba sang putri melihatnya, ternyata seekor ular sowo kembang yang berbau wangi, dengan rasa cinta diambilnya ular itu di pinang dan dibawa ke tempat tidurnya. Sang putripun tidak jadi untuk menanak nasi, seolah sudah merasa kenyang. Di manja, dipeluk, dan diciumnya, si sowo kembang dengan tak henti-hentinya seolah seperti sang bayi yang baru lahir dari kandungan sang putri.
Di pagi hari si sowo kembang, ingin keluar untuk melihat suasana dan diikuti oleh sang putri sebagai pengganti ibunya. Sampailah sowo kembang di tempat lesung dan bermain-main seolah-olah ada sesuatu bagi dirinya. Kala itu sowo kembang tidak mau pindah dari dinding reot, dan di tempat itulah si sowo kembang dapat berbicara layaknya manusia, dan bertanyalah si sowo kembang kepada sang putri. Semula mau melontarkan pertanyaan ini agak termangu-mangu, tetapi terdorong rasa yang kuat akhirnya terlontarlah sebuah pertanyaan dengan nada yang datar, “Sang putri, siapakah sebenarnya ayahku ini?”. Dengan menoleh ke dinding reot itu sang putri menjawab, wahai ular sawo kembang yang perkasa, ayahmu adalah seorang pertapa agung, di gunung urung-urung yang bernama AJI SAKA, yang sebenarnya petapa dan juga adalah seorang raja. Dengan tanpa dipikir panjang si sowo kembang langsung mohon doa restu untuk menuju ke gunung urung-urung seketika di lingkungan pertapaan berbau wangi, dan terkejut hati sang Aji Saka.
Dengan tanpa menunggu waktu lama datanglah si sowo kembang menghadap sang maha muni, dengan menghaturkan sembah sungkem, bersamaan itu pula keluarlah suara bernada geram Sang Aji Saka, “Siapakah kamu ini?”. Jawab Sowo Kembang: “Saya diperintah oleh ibu penumbuk padi untuk datang kesini, sebab sang pertapa adalah ayahku”. Mendengar putri penumbuk padi terkejutlah sang Aji Saka dan teringat terhadap peristiwa lamanya. Jadi kedatanganmu kesini sebenarnya mau apa? Kedatangan saya kesini adalah:
- Dengan hormat, Sang Pertapa untuk memberiku sebuah nama, agar aku senang dengan nama itu.
- Sang Pertapa berkenan untuk mengakui bahwa hamba adalah keturunan dari sang maha muni.
Potongan lidah Naga Baru Klinthing melesat ke angkasa dan suara alam mengiringi dengan tanda gaib yang mengerikan. Naga Baru Klinthing setelah terpenggal lidahnya, tubuhnya bergerak di dalam tanah di sekitar gunung urung-urung yang akhirnya tanah menjadi gundhukan (bukit kecil) dan langsung di malam itu diiringi oleh suara halilintar serta kilat thathit yang mengerikan, bersamaan suara guruh di angkasa yang mencekam, dari jauh suara gelombang tsunami samudra yang seolah menggulung jagad. Sirepnya suara alam yang mengerikan tadi, hadirlah “MANUSIA BAJANG” , (jawa bocah bajang, bocah kerdil) akan berkelana di sekitar desa.
Konon masyarakat desa tersebut akan merayakan hari bersih dusun, dan beramai-ramailah masyarakat dusun untuk membersihkan halaman rumah dan lorong-lorong jalan, serta lingkungan gundhukan tanah yang dekat dengan jalan itupun diratakan agar tidak menutupi jalan. Saat seorang pekerja yang menebang kayu di sekitar gunung urung-urung, memecok akar kayu keluarlah darah yang memancar, dan terkejutlah orang-orang di dekatnya. Kala itu membuat penasaran seluruh orang-orang yang bekerja gotong royong tersebut. Dan dibongkarlah seluruh gundhukan tanah yang melingkar, ternyata daging binatang besar.
Tidak berpikir panjang di potong-potonglah daging tersebut untuk dibawa ke rumah masing-masing persiapan untuk pesta di hari bersih dusun. Masyarakat sangat senang hatinya karena diacara bersih dusun kali ini, lauk pauknya dengan serentak menggunakan daging. Di saat masyarakat memasak daging didatangi oleh manusia bajang, dari rumah ke rumah, yang dengan sengaja meminta makan lengkap dengan lauk pauknya. Ternyata tidak satu keluargapun yang mau memberi makan kepada si bocah bajang tersebut, bahkan diusirnya. Berjalan dengan tenanglah bocah bajang dari rumah ke rumah, dan sampailah ke rumah yang berada di sudut desa terpencil tepatnya di pinggir desa di sela-sela hutan kecil dan rawa-rawa. Dialah si janda tua renta, dalam gubuk kecil yang rajin dan bersih dipagari dengan bunga-bunga indah juga terhiasi oleh kukusnya dupa sesaji. Janda tua sedang memasak daging yang nantinya akan dibawa untuk bersih dusun, datanglah bocah bajang meminta makan lengkap dengan lauk pauknya.
Dengan lahapnya nasi dihabiskan, tak sepotong dagingpun ada yang dimakannya, dan ditinggalkan di dalam piring sambil berpesan, bersiap-siaplah sang nenek dengan enthong yang bertangkai panjang serta lesung yang nanti akan besar manfaatnya. Bersama kata akhir itu menghilanglah si bocah bajang tersebut. Si nenek tua merenung sebentar, sebenarnya si nenek adalah wanita ahli bersemedi, langsung mohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberinya perlindungan. Di waktu itu malam sudah berlalu, di pagi harinya seluruh masyarakat mulai berkumpul di balai dusun untuk melaksanakan upacara bersih dusun, lengkap dengan sesaji, makanan serta pauk pauknya.
Dikala ujub kenduri sedang berlangsung, datanglah si bocah bajang dengan suara lantang “Hentikan dulu ujub kenduri ini”, sebab akan diberinya sebuah sayembara untuk memeriahkan acara bersih dusun tersebut. Sayembaranya adalah: “barang siapa yang dapat mencabut lidi yang saya tancapkan di halaman balai dusun ini, saya bersedia untuk dipotong-potong badannya, tetapi bila tidak dapat mencabutnya seluruh masakan daging ini akan saya rampas semua tanpa terkecuali”.
Masyarakat yang sedang melaksanakan kenduri bersih dusun menjadi berang dan marah mendengar sayembara si bocah bajang tersebut. Keluarlah seluruh masyarakat yang sedang berpesta pora ke halaman balai dusun, dan melingkari si bocah bajang berusaha untuk mencabut lidi yang ditancapkannya. Setelah satu persatu mencabut, tak ada yang berhasil juga. Akhirnya berkelompoklah masyarakat untuk mencabut lidi yang tertancab. namun hasilnya pun sia-sia. Dengan serentak masyarakat menyuruhnya si bocah bajang untuk segera mencabut lidi yang tertancap. Perasaan haru bercampur gundah, dengan tangan kirinya lidi itu dipegangnya. Wajah menatap ke langit, sambil mengucap doa pelan-pelan lidi itu dicabutnya. Tercabutlah lidi itu, dan seketika keluarlah sumber air yang jernih mengalir kearah barat. Seluruh masyarakat menjadi malu hati, karena melihat berhasilnya si bocah bajang mencabut lidi itu. Akhirnya dikeroyoklah bocah bajang, dan larilah perlahan meninggalkan halaman balai dusun. Semakin dikeroyok semakin banjir pula sumber air tersebut. Dengan banjirnya air dari sumber mata air yang ajaib ini, seolah “BANJIR BANDANG, DAN BANYAK MANUSIA YANG TENGGELAM”, menjadi korban, yang masih hidup berteriak minta tolong. Kala itu pula si bocah bajang menghilang dari permukaan, dan akan rnenyatu dengan lidah Naga Baru Klinthing yang melesat ke angkasa, bersama itu pula hilangnya lauk pauk entah kemana. Hanya janda tua yang tempo hari memberi makan kepada si bocah bajang yang selamat karena menuruti pesannya untuk naik lesung dengan berdayung enthong sambil menanti surutnya air bah.
Ternyata setelah air banjir surut lesung berhenti di sebelah sumber mata air, dan si nenek tua menamakan sumber mata air tersebut “SUMBER BARU KLINTHING” dan terkenal sampai sekarang legendanya di Dusun Bunut, Desa Bringin, Kecamatan Pare Kabupaten Kediri.