Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang seorang wanita yang biasa haid selama sepuluh hari. Kemudian pada bulan Ramadhan datang haidnya selama 14 hari, awal keluar darahnya berwarna hitam atau kuning berlangsung selama delapan hari dan dia tetap melaksanakan shalat dan puasa. Apakah sah shalat dan puasa yang dilaksanakannya selama delapan hari tersebut? Apakah yang wajib dia lakukan?
Beliau menjawab:
Haid adalah perkara yang dikenal dikalangan wanita. Mereka lebih mengetahuinya dibandingkan para lelaki. Jika bertambah masa haidnya di luar kebiasaannya, dan diketahui bahwa darah tersebut darh haid maka wajib baginyauntuk meninggalkan shalat dan puasanya. Kecuali jika darahnya tersebut terus keluar mendomonasi bulan tersebut, maka dia dihukumi istihadhah sehingga dia meninggalkan shalat dan puasanya hanya selama dia terbiasa mengalami haid.
Dengan dasar kaidah ini kami katakan kepada wanita tersebut bahwa puasa yang dia lakukan pada hari-hari sesudah masa suci kemudian dia mendapati darah keluar dengan sifat yang tidak dikenal sebagai sifat-sifat darah haid, di mana warna yang tampak hanyalah kuning atau keruh atau terkadang hitam maka tidak dianggap sebagai darah haid, sehingga puasanya sah demikian pula shalat yang dia lakukan tidak terlarang baginya.
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang cairan kuning yang keluar dari kemaluan wanita dua hari sebelum haidnya?
Beliau menjawab:
Jika cairan tersebut keluarnya sebelum haid maka tidak dinilai apa-apa (bukan termasuk haid) berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah:
“Kami tidak memperhitungkan apa-apa warna kuning dan keruh.” (HR.Al-Bukhari)
Dalam riwayat Abu Dawud:
“Kami tidak memperhitungkan warna kuning dan keruh sesudah masa suci (sebagai darah haid).”
Jika cairan kuning ini sebelum haid kemudian terpisah dari haid maka bukan termasuk haid. Adapun jika dia mengetahuinya bahwa cairan tersebut sebagai pembuka haidnya maka dia berhenti dari shalat dan puasanya hingga dia bersih kembali.
Cairan Keruh Sebelum Haid
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang seorang wanita keluar dari kemaluannya cairan berwarna keruh sebelum masa haidnya. Diapun meninggalkan shalat. Kemudian keluar darh seperti biasanya. Bagaimana hukum shalat yang dia tinggalkan?
Beliau menjawab:
Ummu ‘Athiyah berkata:
“Kami tidak memperhitungkan warna kuning dan keruh sesudah masa suci (sebagai darah haid).”
Dengan dasar ini cairan keruh yang mendahului haidnya tersebut tidak jelas bagiku sebagai darah haid. Lebih-lebih jika munculnya sebelum hari-hari biasa mengalami haid dan tidak ada tanda-tanda haidnya seperti mules, sakit punggung dan yang lainnya. Yang lebih utama dia mengqadha shalat yang dia tinggalkan selama waktu tersebut.
Cairan Kuning/Keruh Setelah Masa Haid
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang cairan berwarna kuning dan keruh yang keluar setelah masa suci?
Beliau menjawab:
Permasalahan-permasalahan yang muncul pada wanita dalam permasalahan haid seperti laut yang tidak bertepi. Diantara sebab munculnya berbagai masalah tersebut adalah penggunaan pil-pil pencegah kehamilan ataupun pencegah haid. Manusia sebelum mengenal obat-obat semacam itu tidaklah mengalami masalah yang demikian banyak dan beragam. Benar bahwa masalah itu terus ada sejak diciptakannya wanita, akan tetapi munculnya masalah yang demikian banyak yang membuat bingung manusia dalam mencari pemecahannya. Ini adalah perkara yang sangat disesalkan.
Akan tetapi, kaidah umum menyatakan bahwa seorang wanita jika suci dan dia melihat tanda kesucian yang meyakinkan pada haidnya, yakni keluarnya al-qashshatul baidha, cairan bening yang dikenal oleh para wanita, maka cairan yang keluar sesudah masa suci tersebut baik yang berwarna kuning atau keruh atau bercak ataupun basah bukan karena haid. Cairan tersebut tidak menghalanginya dari shalat, puasa dan dari suaminya untuk menggaulinya karena bukan darah haid.
Ummu ‘Athiyah berkata:
“Kami tidak memperhitungkan apa-apa warna kuning dan keruh.” (HR.Al-Bukhari)
Dalam riwayat Abu Dawud dengan tambahan:
(sesudah suci). Sanadnya shahih.
Dengan dasar itu kami katakan: setiap apa saja yang keluar sesudah masa suci yang meyakinkan maka tidak menjadi gangguan bagi wanita, serta tidak menghalanginya dari shalat, puasa dan jima’. Akan tetapi wajib baginya agar jangan tergesa-gesa sampai betul-betul dia melihat bahwa dirinya sudah suci, karena sebagian wanita jika darahnya sudah kering bersegera mandi sebelum dia melihat dirinya betul-betul suci. Oleh karena itu para wanita sahabat pernah mengirim utusan dengan membawa kursuf (kapas) yang padanya ada darah. ‘Aisyah mengatakan agar mereka jangan tergesa-gesa sampai melihat al-qashshatul baidha.
SALAFY.OR.ID
( diambil dari buku Problema Darah Wanita, Ash Shaf Media)